CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Jumat, 27 November 2009

Tak terasa Adha menyambut penuh Haru

TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM . . .
lebaran id Adha bersama akhwat-akhwat panitia kali ini sungguh jauh berbeda.
ada muatan cinta dan ukhuwah yang begitu terasa.
setengah perjalanan perjuangan tlah dilali dengan berbagai pengorbanan
ada sedih, kecewa, sakit hati, benci, cinta,
subhanallah...

Selasa, 09 Juni 2009

Ungkapan Cinta Al-Ustadz Ihsan Zainuddin

USTADZ YUSRAN YANG SAYA KENAL
(Sebuah Kesan yang Berserakan Tentang Beliau dari Seorang Murid)


Muhammad Ihsan Zainuddin

Menjelang akhir tahun 1993…

Saat itu, kurang lebih baru dua bulan saya “menikmati” salah satu dari 2 mimpi yang saya idam-idamkan: belajar di Ma’had al-‘Ulum atau yang lebih akrab disebut dengan LIPIA. Dan 2 mimpi yang saya maksud adalah: (1) belajar di Universitas Islam Madinah Nabawiyah, atau (2) belajar di LIPIA. Pilihan itu adalah berdasarkan skala prioritas. Artinya jika pilihan pertama tidak keambil, ya paling tidak pilihan kedua jangan sampai lepas. Kedua mimpi itu memang telah lama “mengejar-ngejar” kehidupan saya. Sejak kelas 1 SMA…

Ketika itu, saya belum pernah mendengar apapun tentang Yayasan Fathul Mu’in (Wahdah Islamiyah tempoe doeleo) selain namanya. Itupun dari seorang kawan asal Makassar yang kebetulan sama-sama ngontrak rumah di bilangan Jalan Penegak. Karena hanya dengar nama, maka saya pun tidak terlalu berhasrat untuk mencari tahu lebih jauh tentangnya. Bahkan saya sempat berfikir, “Ah, aliran macam apa lagi ini?”

Hingga di sebuah sore yang agak mendung, seorang pemuda (baca: ikhwah) datang ke rumah kontrakan kami di Jalan Penegak itu. Kesan pertama yang tertangkap adalah pemuda ini jelas seorang “aktifis” yang sangat aktif. Terbukti dari sikat gigi dan odol yang selalu tersedia dalam tasnya. Hal lain adalah saya merasa bahwa pemuda ini nampaknya juga seorang ahli ibadah. Maaf, kesan itu muncul begitu saja, meski saya belum berkenalan lebih jauh dengannya. Kata teman ngontrak saya, “Akh ini dari Yayasan Fathul Mu’in di Makassar, dan sekarang akan berangkat ke Madinah untuk belajar di sana.” Ke Madinah??? Ke tempat impianku???

Kata “Madinah” memang cukup sensitif buat saya kala itu. Ada kesedihan saat mendengarnya waktu itu. Betapa tidak, di penghujung kelas 3 SMA (di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta), saya bersama Ustadz Ridwan Hamidi (Yogya) direkomendasikan oleh guru kami, Dr. Yunahar Ilyas, M.Ag untuk mengikuti tes ke Madinah di Pesantren Darussalam Gontor. Waktu itu, saya ingat sekali yang menguji kami adalah Syekh Dr. Muhammad ibn Khalifah al-Tamimy. Namun belakangan, saya mendengar bahwa hanya Ustadz Ridwan yang lulus. Yah, alhamdulillah ‘ala kulli hal. Mimpi tentang Madinah pun nyaris terhapus dalam pikiran saya.

Dan sore itu, sang akh dari Fathul Mu’in ini mengingatkan saya kembali tentangnya. Meski saya hanya bisa tersenyum pahit. “Oh iya, saya juga punya seorang kawan yang akan ke Madinah. Namanya Ridwan Hamidi. Nanti kalo’ Antum ketemu di sana, salam ya…dari Ihsan.” Hanya itu yang bisa saya titipkan lewat pemuda tersebut. Ia tersenyum kemudian berjanji untuk menyampaikan amanah itu. Dan di situlah awal mula Allah mempertemukan saya dengan Ustadz Muhammad Yusran. Karena pemuda yang saya maksud tidak lain adalah beliau sendiri.

Tapi peristiwa sore itu ternyata hanya sebuah awal untuk akhir yang tak terduga. Saya benar-benar lupa detail peristiwanya, tapi saya dengar kemudian Ustadz Ridwan belum berangkat-berangkat juga. Dan saya kemudian mendengar kabar angin bahwa saya sebenarnya termasuk yang lulus ke Madinah tahun itu!!! Benarkah itu??! The Dream comes true-kah ini??!

Bersama teman di rumah kontrakan itu, saya bergegas ke Atase Agama Saudi (saya lupa nama jalannya, tapi yang pasti tidak jauh dari Mesjid al-Azhar Kebayoran). Waktu itu, niat saya hanya ingin membantu Ustadz Ridwan yang belum berangkat juga karena (kalau tidak salah) surat panggilan dari Madinahnya tercecer. Tapi Ustadz ‘Abdullah Baharmus sungguh membuat saya kaget. “Dari Yogya sebenarnya ada 2 orang yang diterima tahun ini, tapi sampai sekarang mereka belum melapor…” ujarnya. Apa?? 2 orang? Yang satu pasti Ustadz Ridwan, tapi yang satunya siapa lagi? “Ridwan Hamidi dan Muhammad Ihsan,” lanjut Ustadz Baharmus. Apa?? Allahu akbar. Subhanallah. Alhamdulillah. Duhai Allah, seperti ini jalannya…Sungguh berliku…Engkau izinkan hamba untuk merasakan nikmat belajar di LIPIA, dan kini mimpi ke Madinah pun menjadi kenyataan. Allahu akbar.

Setelah menyimak arahan dan taujihat seputar keberangkatan dari Ustadz Baharmus, dengan hati yang riang gembira saya seperti melayang menyeberangi jalan raya. Saat itu, tujuan saya hanya satu. Mesjid al-Azhar Kebayoran yang tak jauh dari Atase Agama Saudi. Saya ingin menumpahkan ledakan rasa syukur yang menyesaki dada saya di sana. Sungguh-sungguh tidak pernah saya duga. Saya benar-benar menyangka bahwa nasib saya sudah mentok di LIPIA. Meski entah kenapa, waktu itu saya tetap yakin masih ada jalan untuk ke Madinah. Dan hari ini, entah kenapa, di saat Ustadz Yusran terbaring lemah di sana…entah kenapa saya jadi bertanya: apakah keberangkatan saya ke Madinah waktu itu adalah merupakan salah satu berkah perjumpaan sekilas saya dengan beliau? Mungkin.

Desember akhir, 1993, di Bandara Madinah yang dingin…
Singkat cerita, saya dan Ustadz Ridwan pun berangkat ke Madinah. Aneh memang, karena sebelumnya beliau hanya akan berangkat sendiri bersama rombongan Ustadz Yusran yang sudah tiba lebih dahulu. Tapi ternyata hari itu, saya justru menjadi satu-satunya teman beliau di pesawat, bahkan menjadi amir safar dalam perjalanan pertama ke luar negri itu (Salah satu peristiwa konyol yang kami alami saat pesawat mendarat adalah ketika saya bertanya kepada pramugari yang saya kira orang Indonesia: “Mbak, keluarnya ke mana, ya?” Tapi dia justru menjawab: “I am not Indonesian.” Tengsin dah, kata orang Betawi)

Akhirnya, kami sampai juga ke Universitas Islam Madinah, tanpa seorang pun yang menjemput di bandara. Oleh seorang teman dari Indonesia, karena saya mengaku dari Makassar, kami berdua pun dibawa –kata dia- ke kamar orang Sulawesi. Dan di situlah saya pertama kali berjumpa dengan 2 orang ustadz kita: Ustadz Jahada dan Ustadz Saiful Yusuf. Mulanya saya sempat ragu, tapi ternyata itu adalah sebuah awal yang mubarakah. Sebuah awal yang manisnya tak kunjung hilang hingga kini, dan semoga hingga akhir hayat. Satu persatu, saya pun mulai bertemu dengan Ustadz Rahmat, dan…seperti yang Anda duga dengan Ustadz kita, Muhammad Yusran.

Perjumpaan dengan “orang Sulawesi” yang dulu sempat saya pertanyakan itu, benar-benar menjadi awal kehidupan saya yang sesungguhnya. Kemanisan jalan dakwah mulai saya rajut semenjak itu. Bukan saya yang membuatnya manis, tapi merekalah, para ustadz itulah-setelah karunia dari Allah-yang menunjukkannya pada saya.

Ustadz Yusran yang Saya Kenal
Ternyata dugaan saya bahwa “sang pemuda” itu adalah seorang ahli ibadah ternyata tidak meleset. Di Madinah, saya sungguh melihat bukti kebenaran dugaan saya itu. Setiap usai shalat Subuh, sebagian besar kami-mahasiswa-biasanya terkena virus orang Saudi yang memiliki kebiasaan umum tidur pagi. Entah mengapa, setelah menuntaskan dzikir “standar” usai shalat dan menyelesaikan beberapa halaman kewajiban menghafal al-Qur’an, virus “kantuk” mulai datang menyerang. Dan satu persatu kami yang duduk di mesjid kampus pun berguguran. Sedikit sekali yang bertahan melazimi sunnah Nabi untuk berdzikir hingga mentari terbit (syuruq). Dan satu diantara mereka yang sedikit itu adalah Ustadzuna Muhammad Yusran. Hingga hari inipun, ketika kami sudah berada di Indonesia, beliau tidak pernah meninggalkan sunnah ini kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa.

Jika kami hadir di sebuah majlis dan bertepatan pada hari Senin dan Kamis, bila saat Maghrib telah tiba, Ustadz Yusran nyaris selalu mengawalinya dengan berbuka. Saya pribadi sungguh sudah terlalu sering tersenyum malu pada diri sendiri jika melewati saat-saat seperti itu. Bahkan hingga hari ini…

Kecintaannya pada ilmu pun sungguh luar biasa. Beliau sangat menguasai informasi seputar literatur-literatur turats, terutama perbandingan antara naskah-naskah yang telah diverifikasi (tahqiq) dengan baik atau tidak, apa kelebihan antara satu kitab dengan kitab yang lain dalam disiplin ilmu yang sama. Sebab itu, sebagian teman sering menjadikan beliau sebagai rujukan dalam memilih kitab mana yang harus dibeli dan dikoleksi-terutama kalo’ kantong lagi cekak-.

Menurut saya, kecintaannya pada ilmu inilah yang kemudian membuatnya begitu lahap menuai dan memanen faidah-faidah yang berserakan dalam berbagai warisan para ulama. Sehingga meskipun secara akademik sebagian dari kami memiliki nilai yang sedikit lebih baik dari beliau, namun kedalaman ilmu sungguh tak pernah dapat engkau ukur dengan setumpuk kertas bernama daftar nilai hasil ujian. Sebab ilmu itu adalah apa yang ada dalam dada (shudur), dan bukan apa yang ada dalam lembar-lembar tulisan (suthur).

Ustadz Yusran sungguh-sungguh membuktikan bahwa ilmu apapun yang engkau pelajari bukan sekedar untuk dikoleksi, tapi untuk diamalkan. Seingat saya, jumlah koleksi kitab beliau tidak sebanyak yang saya miliki, terutama setelah beliau menikah. Tapi-sekali lagi-, kedalaman ilmu tidak pernah diukur oleh deretan kitab yang menjadi koleksimu (baca: pajanganmu) di ruang tamu rumahmu. Tidak seperti itu. Dan saya rasa bukti kedalaman ilmu beliau tidak hanya saya saja yang mengakuinya.

Tanyakanlah kepada mereka yang hadir di majlis pada setiap malam Ahad di Mesjid Wihdatul Ummah yang mubarak itu…

Tanyakanlah pada mereka yang duduk bersimpuh nyaris tak bergeming di sana…dan luar biasa! Mereka tak pernah bosan untuk duduk di sana. Dari pekan ke pekan, mereka tetap setia menanti, menyimak dan mencatat setiap wejangan yang dituturkan oleh Ustadzuna Muhammad Yusran…

Meski kini, di kursi tempat Sang Ustadz itu duduk, mereka tak lagi melihat wajahnya. Hari-hari ini adalah hari-hari duka bagi majlis Riyadh al-Shalihin itu…Mereka diam terpekur berdoa semoga Allah mengembalikan Sang ‘Alim itu ke kursinya, dan mengizinkan mereka untuk kembali menyimak setiap butir ilmu yang dituturkannya…

Mungkin sebagian orang mengira Ustadz Yusran adalah orang yang selalu serius. Tapi saya membuktikan tidak demikian. Berziarah ke kamarnya adalah saat-saat yang sering saya nantikan selama saya berada di Madinah. Saya selalu menemukan gairah baru jika bertandang ke sana. Dan semua orang tahu bahwa saya adalah orang yang suka bergurau. Dan saya sungguh senang jika melihat Ustadz Yusran tersenyum-atau tertawa-karena joke-joke yang saya lontarkan. Mudah-mudahan itu termasuk Idkhal al-Surur (menelusupkan rasa gembira) ke dalam hati kaum beriman. Sesekali beliau menimpali gurauan saya, hingga kami pun tertawa bersama. Yah, ustadz juga manusia…

Hal lain yang tidak mungkin saya lupakan adalah konsistensinya pada manhaj al-Salaf, terutama dalam memberikan nasehat pada kami. Seingat saya, dalam setiap majlis-majlis tarbiyah dan musyawarah kami di Madinah-dan hingga kini di Indonesia-, beliau-lah yang selalu kami daulat untuk memberikan nasehat akhir buat kami semua. Entah mengapa, kami semua seperti mufakat dengan suara bulat untuk hal yang satu ini. Hati dan jiwa kami seperti terbuka dengan sangat lebarnya menyambut setiap kata yang disampaikan oleh Ustadz Yusran. Sampai-sampai (setidaknya menurut saya) majlis itu terasa hambar jika Sang Ustadz tak menitipkan sebuah pesan kepada kami semua. Dan semoga kesempatan itu kelak masih terus dilimpahkan kepada kami…Semoga Allah segera menyembuhkan beliau, untuk kami dan untuk umat Islam.

Dan akhirnya…

Peristiwa Ahad sore itu sungguh mengejutkan. Kecelakaan seperti itu mungkin terjadi setiap hari di dunia ini. Tapi ketika ia terjadi pada seorang Ustadz Yusran, maka persoalannya menjadi lain. Kesedihan yang lahir tidak sama dengan kesedihan pada yang lain. Banyak jiwa yang tersentak. Banyak mata yang menangis. Banyak lisan yang berdoa. Banyak bibir yang bermunajat.
Saya sendiri sangat sedih karena berada jauh dari beliau. Tapi saya yakin tidak ada yang mengalahkan kekuatan sebuah doa. Al-Du’a silah al-mu’min. Doa adalah senjata sang mukmin. Semoga Allah memberikan pilihan terbaik untuk beliau dan untuk kita semua. Semoga kesabaran yang ada tak pernah mengenal tepian dan akhir. Semoga Allah mengabulkan setiap doa dan munajat kita semua. Amin. Amin. Amin.

Cipinang Muara, 12 Desember 2006
Dari seorang murid yang tak putus berdoa
Muhammad Ihsan Zainuddin

Ungkapan Cinta Al-Ustadz Ihsan Zainuddin

USTADZ YUSRAN YANG SAYA KENAL
(Sebuah Kesan yang Berserakan Tentang Beliau dari Seorang Murid)


Muhammad Ihsan Zainuddin

Menjelang akhir tahun 1993…

Saat itu, kurang lebih baru dua bulan saya “menikmati” salah satu dari 2 mimpi yang saya idam-idamkan: belajar di Ma’had al-‘Ulum atau yang lebih akrab disebut dengan LIPIA. Dan 2 mimpi yang saya maksud adalah: (1) belajar di Universitas Islam Madinah Nabawiyah, atau (2) belajar di LIPIA. Pilihan itu adalah berdasarkan skala prioritas. Artinya jika pilihan pertama tidak keambil, ya paling tidak pilihan kedua jangan sampai lepas. Kedua mimpi itu memang telah lama “mengejar-ngejar” kehidupan saya. Sejak kelas 1 SMA…

Ketika itu, saya belum pernah mendengar apapun tentang Yayasan Fathul Mu’in (Wahdah Islamiyah tempoe doeleo) selain namanya. Itupun dari seorang kawan asal Makassar yang kebetulan sama-sama ngontrak rumah di bilangan Jalan Penegak. Karena hanya dengar nama, maka saya pun tidak terlalu berhasrat untuk mencari tahu lebih jauh tentangnya. Bahkan saya sempat berfikir, “Ah, aliran macam apa lagi ini?”

Hingga di sebuah sore yang agak mendung, seorang pemuda (baca: ikhwah) datang ke rumah kontrakan kami di Jalan Penegak itu. Kesan pertama yang tertangkap adalah pemuda ini jelas seorang “aktifis” yang sangat aktif. Terbukti dari sikat gigi dan odol yang selalu tersedia dalam tasnya. Hal lain adalah saya merasa bahwa pemuda ini nampaknya juga seorang ahli ibadah. Maaf, kesan itu muncul begitu saja, meski saya belum berkenalan lebih jauh dengannya. Kata teman ngontrak saya, “Akh ini dari Yayasan Fathul Mu’in di Makassar, dan sekarang akan berangkat ke Madinah untuk belajar di sana.” Ke Madinah??? Ke tempat impianku???

Kata “Madinah” memang cukup sensitif buat saya kala itu. Ada kesedihan saat mendengarnya waktu itu. Betapa tidak, di penghujung kelas 3 SMA (di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta), saya bersama Ustadz Ridwan Hamidi (Yogya) direkomendasikan oleh guru kami, Dr. Yunahar Ilyas, M.Ag untuk mengikuti tes ke Madinah di Pesantren Darussalam Gontor. Waktu itu, saya ingat sekali yang menguji kami adalah Syekh Dr. Muhammad ibn Khalifah al-Tamimy. Namun belakangan, saya mendengar bahwa hanya Ustadz Ridwan yang lulus. Yah, alhamdulillah ‘ala kulli hal. Mimpi tentang Madinah pun nyaris terhapus dalam pikiran saya.

Dan sore itu, sang akh dari Fathul Mu’in ini mengingatkan saya kembali tentangnya. Meski saya hanya bisa tersenyum pahit. “Oh iya, saya juga punya seorang kawan yang akan ke Madinah. Namanya Ridwan Hamidi. Nanti kalo’ Antum ketemu di sana, salam ya…dari Ihsan.” Hanya itu yang bisa saya titipkan lewat pemuda tersebut. Ia tersenyum kemudian berjanji untuk menyampaikan amanah itu. Dan di situlah awal mula Allah mempertemukan saya dengan Ustadz Muhammad Yusran. Karena pemuda yang saya maksud tidak lain adalah beliau sendiri.

Tapi peristiwa sore itu ternyata hanya sebuah awal untuk akhir yang tak terduga. Saya benar-benar lupa detail peristiwanya, tapi saya dengar kemudian Ustadz Ridwan belum berangkat-berangkat juga. Dan saya kemudian mendengar kabar angin bahwa saya sebenarnya termasuk yang lulus ke Madinah tahun itu!!! Benarkah itu??! The Dream comes true-kah ini??!

Bersama teman di rumah kontrakan itu, saya bergegas ke Atase Agama Saudi (saya lupa nama jalannya, tapi yang pasti tidak jauh dari Mesjid al-Azhar Kebayoran). Waktu itu, niat saya hanya ingin membantu Ustadz Ridwan yang belum berangkat juga karena (kalau tidak salah) surat panggilan dari Madinahnya tercecer. Tapi Ustadz ‘Abdullah Baharmus sungguh membuat saya kaget. “Dari Yogya sebenarnya ada 2 orang yang diterima tahun ini, tapi sampai sekarang mereka belum melapor…” ujarnya. Apa?? 2 orang? Yang satu pasti Ustadz Ridwan, tapi yang satunya siapa lagi? “Ridwan Hamidi dan Muhammad Ihsan,” lanjut Ustadz Baharmus. Apa?? Allahu akbar. Subhanallah. Alhamdulillah. Duhai Allah, seperti ini jalannya…Sungguh berliku…Engkau izinkan hamba untuk merasakan nikmat belajar di LIPIA, dan kini mimpi ke Madinah pun menjadi kenyataan. Allahu akbar.

Setelah menyimak arahan dan taujihat seputar keberangkatan dari Ustadz Baharmus, dengan hati yang riang gembira saya seperti melayang menyeberangi jalan raya. Saat itu, tujuan saya hanya satu. Mesjid al-Azhar Kebayoran yang tak jauh dari Atase Agama Saudi. Saya ingin menumpahkan ledakan rasa syukur yang menyesaki dada saya di sana. Sungguh-sungguh tidak pernah saya duga. Saya benar-benar menyangka bahwa nasib saya sudah mentok di LIPIA. Meski entah kenapa, waktu itu saya tetap yakin masih ada jalan untuk ke Madinah. Dan hari ini, entah kenapa, di saat Ustadz Yusran terbaring lemah di sana…entah kenapa saya jadi bertanya: apakah keberangkatan saya ke Madinah waktu itu adalah merupakan salah satu berkah perjumpaan sekilas saya dengan beliau? Mungkin.

Desember akhir, 1993, di Bandara Madinah yang dingin…
Singkat cerita, saya dan Ustadz Ridwan pun berangkat ke Madinah. Aneh memang, karena sebelumnya beliau hanya akan berangkat sendiri bersama rombongan Ustadz Yusran yang sudah tiba lebih dahulu. Tapi ternyata hari itu, saya justru menjadi satu-satunya teman beliau di pesawat, bahkan menjadi amir safar dalam perjalanan pertama ke luar negri itu (Salah satu peristiwa konyol yang kami alami saat pesawat mendarat adalah ketika saya bertanya kepada pramugari yang saya kira orang Indonesia: “Mbak, keluarnya ke mana, ya?” Tapi dia justru menjawab: “I am not Indonesian.” Tengsin dah, kata orang Betawi)

Akhirnya, kami sampai juga ke Universitas Islam Madinah, tanpa seorang pun yang menjemput di bandara. Oleh seorang teman dari Indonesia, karena saya mengaku dari Makassar, kami berdua pun dibawa –kata dia- ke kamar orang Sulawesi. Dan di situlah saya pertama kali berjumpa dengan 2 orang ustadz kita: Ustadz Jahada dan Ustadz Saiful Yusuf. Mulanya saya sempat ragu, tapi ternyata itu adalah sebuah awal yang mubarakah. Sebuah awal yang manisnya tak kunjung hilang hingga kini, dan semoga hingga akhir hayat. Satu persatu, saya pun mulai bertemu dengan Ustadz Rahmat, dan…seperti yang Anda duga dengan Ustadz kita, Muhammad Yusran.

Perjumpaan dengan “orang Sulawesi” yang dulu sempat saya pertanyakan itu, benar-benar menjadi awal kehidupan saya yang sesungguhnya. Kemanisan jalan dakwah mulai saya rajut semenjak itu. Bukan saya yang membuatnya manis, tapi merekalah, para ustadz itulah-setelah karunia dari Allah-yang menunjukkannya pada saya.

Ustadz Yusran yang Saya Kenal
Ternyata dugaan saya bahwa “sang pemuda” itu adalah seorang ahli ibadah ternyata tidak meleset. Di Madinah, saya sungguh melihat bukti kebenaran dugaan saya itu. Setiap usai shalat Subuh, sebagian besar kami-mahasiswa-biasanya terkena virus orang Saudi yang memiliki kebiasaan umum tidur pagi. Entah mengapa, setelah menuntaskan dzikir “standar” usai shalat dan menyelesaikan beberapa halaman kewajiban menghafal al-Qur’an, virus “kantuk” mulai datang menyerang. Dan satu persatu kami yang duduk di mesjid kampus pun berguguran. Sedikit sekali yang bertahan melazimi sunnah Nabi untuk berdzikir hingga mentari terbit (syuruq). Dan satu diantara mereka yang sedikit itu adalah Ustadzuna Muhammad Yusran. Hingga hari inipun, ketika kami sudah berada di Indonesia, beliau tidak pernah meninggalkan sunnah ini kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa.

Jika kami hadir di sebuah majlis dan bertepatan pada hari Senin dan Kamis, bila saat Maghrib telah tiba, Ustadz Yusran nyaris selalu mengawalinya dengan berbuka. Saya pribadi sungguh sudah terlalu sering tersenyum malu pada diri sendiri jika melewati saat-saat seperti itu. Bahkan hingga hari ini…

Kecintaannya pada ilmu pun sungguh luar biasa. Beliau sangat menguasai informasi seputar literatur-literatur turats, terutama perbandingan antara naskah-naskah yang telah diverifikasi (tahqiq) dengan baik atau tidak, apa kelebihan antara satu kitab dengan kitab yang lain dalam disiplin ilmu yang sama. Sebab itu, sebagian teman sering menjadikan beliau sebagai rujukan dalam memilih kitab mana yang harus dibeli dan dikoleksi-terutama kalo’ kantong lagi cekak-.

Menurut saya, kecintaannya pada ilmu inilah yang kemudian membuatnya begitu lahap menuai dan memanen faidah-faidah yang berserakan dalam berbagai warisan para ulama. Sehingga meskipun secara akademik sebagian dari kami memiliki nilai yang sedikit lebih baik dari beliau, namun kedalaman ilmu sungguh tak pernah dapat engkau ukur dengan setumpuk kertas bernama daftar nilai hasil ujian. Sebab ilmu itu adalah apa yang ada dalam dada (shudur), dan bukan apa yang ada dalam lembar-lembar tulisan (suthur).

Ustadz Yusran sungguh-sungguh membuktikan bahwa ilmu apapun yang engkau pelajari bukan sekedar untuk dikoleksi, tapi untuk diamalkan. Seingat saya, jumlah koleksi kitab beliau tidak sebanyak yang saya miliki, terutama setelah beliau menikah. Tapi-sekali lagi-, kedalaman ilmu tidak pernah diukur oleh deretan kitab yang menjadi koleksimu (baca: pajanganmu) di ruang tamu rumahmu. Tidak seperti itu. Dan saya rasa bukti kedalaman ilmu beliau tidak hanya saya saja yang mengakuinya.

Tanyakanlah kepada mereka yang hadir di majlis pada setiap malam Ahad di Mesjid Wihdatul Ummah yang mubarak itu…

Tanyakanlah pada mereka yang duduk bersimpuh nyaris tak bergeming di sana…dan luar biasa! Mereka tak pernah bosan untuk duduk di sana. Dari pekan ke pekan, mereka tetap setia menanti, menyimak dan mencatat setiap wejangan yang dituturkan oleh Ustadzuna Muhammad Yusran…

Meski kini, di kursi tempat Sang Ustadz itu duduk, mereka tak lagi melihat wajahnya. Hari-hari ini adalah hari-hari duka bagi majlis Riyadh al-Shalihin itu…Mereka diam terpekur berdoa semoga Allah mengembalikan Sang ‘Alim itu ke kursinya, dan mengizinkan mereka untuk kembali menyimak setiap butir ilmu yang dituturkannya…

Mungkin sebagian orang mengira Ustadz Yusran adalah orang yang selalu serius. Tapi saya membuktikan tidak demikian. Berziarah ke kamarnya adalah saat-saat yang sering saya nantikan selama saya berada di Madinah. Saya selalu menemukan gairah baru jika bertandang ke sana. Dan semua orang tahu bahwa saya adalah orang yang suka bergurau. Dan saya sungguh senang jika melihat Ustadz Yusran tersenyum-atau tertawa-karena joke-joke yang saya lontarkan. Mudah-mudahan itu termasuk Idkhal al-Surur (menelusupkan rasa gembira) ke dalam hati kaum beriman. Sesekali beliau menimpali gurauan saya, hingga kami pun tertawa bersama. Yah, ustadz juga manusia…

Hal lain yang tidak mungkin saya lupakan adalah konsistensinya pada manhaj al-Salaf, terutama dalam memberikan nasehat pada kami. Seingat saya, dalam setiap majlis-majlis tarbiyah dan musyawarah kami di Madinah-dan hingga kini di Indonesia-, beliau-lah yang selalu kami daulat untuk memberikan nasehat akhir buat kami semua. Entah mengapa, kami semua seperti mufakat dengan suara bulat untuk hal yang satu ini. Hati dan jiwa kami seperti terbuka dengan sangat lebarnya menyambut setiap kata yang disampaikan oleh Ustadz Yusran. Sampai-sampai (setidaknya menurut saya) majlis itu terasa hambar jika Sang Ustadz tak menitipkan sebuah pesan kepada kami semua. Dan semoga kesempatan itu kelak masih terus dilimpahkan kepada kami…Semoga Allah segera menyembuhkan beliau, untuk kami dan untuk umat Islam.

Dan akhirnya…

Peristiwa Ahad sore itu sungguh mengejutkan. Kecelakaan seperti itu mungkin terjadi setiap hari di dunia ini. Tapi ketika ia terjadi pada seorang Ustadz Yusran, maka persoalannya menjadi lain. Kesedihan yang lahir tidak sama dengan kesedihan pada yang lain. Banyak jiwa yang tersentak. Banyak mata yang menangis. Banyak lisan yang berdoa. Banyak bibir yang bermunajat.
Saya sendiri sangat sedih karena berada jauh dari beliau. Tapi saya yakin tidak ada yang mengalahkan kekuatan sebuah doa. Al-Du’a silah al-mu’min. Doa adalah senjata sang mukmin. Semoga Allah memberikan pilihan terbaik untuk beliau dan untuk kita semua. Semoga kesabaran yang ada tak pernah mengenal tepian dan akhir. Semoga Allah mengabulkan setiap doa dan munajat kita semua. Amin. Amin. Amin.

Cipinang Muara, 12 Desember 2006
Dari seorang murid yang tak putus berdoa
Muhammad Ihsan Zainuddin

Sabtu, 06 Juni 2009

WARNING BUAT PEMBACA SYABAABUNNISAA

Bismillah . . .

Sekali lagi afwan ya sya, ku ga bisa berlama-lama, pa lagi mau lanjutin kisah “Pangeran Dalam Hati”

Ku Cuma mau klarifikasi atas segala masukkan dari salah seorang akhwat tentang kisah “Pangeran Dalam Hati” dan sebelumnya saya ucapkan jadzakillah khairan atas masukkan-masukkannya kak . . . sekali lagi syukran sudah langsung menghubungiku tadi pagi.

Buat semua pembaca Syabaabunnisaa bahwa sekali lagi saya tegaskan, insya Allah semua kisah yang saya tuliskan dalam blog saya ini adalah murni rekaya Allah. Dan nama pelaku dalam kisah, “Pangeran Dalam Hati” saya samarkan. Sebab tidak ada niat lain selain berbagi untuk mengambil hikmah di dalamnya, dan kisah ini telah mendapat izin dari salah seorang pelaku di dalamnya. Sebab melihat banyaknya fenomena para aktivis yang futhur tidak lain karena terfitnah. Untuk itu, saran dan masukkan dari salah seorang kakak yang membaca kisah “Pangeran Dalam Hati”, dan atas permintaan salah seorang pelaku dalam kisah tersebut bahwa agar lebih bermanfaat sebaiknya di sertakan dengan dalil-dalil dan penjelasan yang sesuai dengan pemahaman shalafus shaleh. Dan jujur, untuk sampai menyertakan dalil-dalil dan pemahaman para ulama salaf butuh waktu yang panjang untuk membuatnya. sebab kedangkalan ilmu yang saya miliki yang masih butuh banyak mencari sumber-sumber yang bisa di jadikan rujukan, dan seperti yang telah saya katakan bahwa saya hanyalah penulis amatiran yang masih butuh latihan, latihan dan latihan. Oleh karena terlanjur kisah ini saya muat dalam blog, entah sudah beberapa orang yang membacanya, insya Allah saya akan menuntaskan kisahnya sampai selesai. Namun, saya berharap kesabaran dari pembaca untuk menanti akhir kisah tersebut, sebab untuk beberapa pekan ini saya disibukkan dengan berbagai amanah yang harus segera diselesaikan. Mohon doanya agar segala ususan dimudahkan oleNya. dan saya memohon ampun kepada Allah atas segala kekhilafan-kekhilafan yang saya lakukan. Juga kepada saudari-saudariku uhibbukifillah . . . keep istiqomah

Raihana

n_n

Kamis, 04 Juni 2009

PESAN BUAT SYABAABUNNISAA

BISMILLAH . . .

AFWAN YA SYA,

KU BELUM SEMPAT NULIS LAGI NEH BUAT LANJUTIN CERITA “PANGERAN DALAM HATI”. B’COZ KU LAGI SIBUK BANGET HARI NEH. KAN BUTUH BANYAK WAKTU BUAT NGRANGKAI KATA-KATA GITU, GA SEKEDAR NULIS. INSYA ALLAH KAPAN-KAPAN LAGI YA SYA, MAKANYA DOAIN BIAR KEGIATANKU CEPAT SELESAI DAN DOAIN JUGA BIAR KU LULUS YA . . .

KALO SAMPE GA LULUS YA . . . JADI NERS SEUMUR HIDUP DECH. TAPI YANG PASTINYA INSYA ALLAH KU KAN SERING NYAMPERIN KAMU SYA, SESIBUK APAPUN INSYA ALLAH. SEBAB DIMANA LAGI MAU KUTUMPAHKAN KARYA-KARYAKU SELAIN KE KAMU. MESKI AMATIRAN, KU INGAT SEKALI PESAN DARI TENTOR MATEMATIKAKU, KATA BELIAU SEBUAH PENSIL YANG SERING DI PUKUL-PUKUL PAKE JARI TELUNJUK MESKI GA PATAH, NAMUN KARENA SAKING SERINGNYA DI PUKUL . . LAMA-KELAMAAN PASTI AKAN MUDAH PATAHNYA, KETIMBANG KITA SAMA SEKALI GA PERNAH MEMUKUL-MUKULNYA DENGAN JARI TELUNJUK KITA. NAH SAMA, DENGAN KETERAMPILAN YANG MENURUT KITA “AH, MANA MUNGKIN AKU BISA JADI PENULIS, GA DA BAKAT!!” YA EMANG BENER BANGET TUH, GIMANA BISA NULIS? WONG SELALU MENSUGESTI DIRINYA DENGAN BERKATA “AKU GA BISA”, END GA PERNAH LATIHAN NULIS. HM . . . BAGIKU TERSERAH ORANG MAU BILANG APA TENTANG DIRIKU DAN APA YANG KU LAKUKAN, SELAGI INSYA ALLAH GA LANGGAR SYARIAT, WHY NOT?. KAN AKU SAMA SEKALI NDA PERNAH NGARANG-NGARANG CERITA ATAU MENULISKAN KISAH-KISAH DARI HASIL KHAYALAN AKU SEMATA. SEBAB APA YANG KU CERITAKAN PADAMU SYA MURNI HASIL REKAYASA ALLAH, ARTINYA KISAH NYATA. KEY, DAH DULU YA . . . B’COZ ADA KEGIATAN DI KAMPUS.

RAIHANA

Pangeran Dalam Hati 2

Pintu kamar kak Nur tampak terbuka. “Sepertinya ada tamu” tanyanya dalam hati. Aisyah pun melanjutkan langkahnya sampai ke depan pintu kamar kak Nur. Belum sempat ia beri salam, kak Nur lebih dulu melihatnya dan langsung menyapanya.

“ hey, masya Allah . . . salamun ‘Alaykum de. Gimana kabar’ta de? Bae-bae je ki? Dari mana hendak kemena nih?” serang kak Nur

“he eh . . wa’alaykum salam warahmatullah, Alhamdulillah . . . bikhair kak.. ini dari kamarnya Reva minjam materi buat di kopi kak”

“eh, Aisyah yah?” . . . tba-tiba suara itu muncul dari sudut kamar kak Nur yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua.

“masya Allah tante . . . disini ki dari tadi ?? afwan, afwan, afwan . . . nda kuliati kodong. Oh . . jadi yang kita maksud pondokkannya anaknya teman’ta ini?,”

“iya nak, di kampung tetangga ka dengan Nur. Ni si Eva nda sabar mau maen ke pondokkannya Nur. Dari tadi malam na paksa ka mau datang ke sini. Tapi na larang ki Rahman bedeng, jauh sekali dari unhas kodong mana sudah malam mi.” cerita ibu Rahman

“Semester berapami nak ?”

“baru ji semester 2 tante” jawab Aisyah

“itu Rahman kenapa lama sekali selesainya?. Padahal teman-temannya banyak mi yang wisuda?. Pokoknya kalau nda sampai ki selesai tahun ini, ku balo-balo ki kepalanya. Heran ka apa… yang na urus itu anak. Pusing ka pikir sekolahnya ni anak-anak, Alhamdulillah adenya si Evi dah selesai mi baru-baru. Bulan kemarin wisudanya. Mana habis-habisan ka ini, karna Evi waktu wisudanya banyak sekali keluar uang. Belum lagi ku pikirkan keluarganya itu perempuan. Tambah pusing ka” curhat ibu Rahman

Kayaknya sudah sejak tadi ibu Rahman curhat-curhatan sama kak Nur. Hm . . . masya Allah yah, Rahman sampe rela kuliahnya di tangguhkan demi dakwah. Astaghfirullah . . . ya rabb maafkan aku. Ya Allah . . . kenapa selalu terpikir dia terus??? Astagfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah…

A’isyah berulang-ulang melihati jam di HPnya dan sesekali ia menengok ke arah jendela melihat suasana jelang sore di luar. Sejak tadi ia berniat untuk pamit pulang, ia takut kemalaman di jalan. Namun dari sejak tadi ibu Rahman tak hentinya curhat. Nda sopan orang tua lagi ngomong trus di potong.

“begitulah nak, kami orang tua selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya” ibu Rahman pun mengakhiri cerita, sambil meneguk secangkir teh di depannya. Tampaknya ia mulai lelah sebab sejak tadi ia bercerita tanpa koma. A’isyah pun memanfaatkan moment tepat itu

“wah, di luar sana dah tampak gelap di?” sergah aisyah sambil kembali melihat jam di HPnya. “waduh, dah hampir me ki jam 6. Ya dah kak, tante pulang ma dulu nah, insya Allah kapan-kapan kesini ka lagi. Mau mi magrib bela.”

Setelah bersalaman dan bercipika-cipiki, A’isyah pun pamit pulang.

Di perjalanan pulang lagi-lagi Aisyah mengingatnya. Sosok yang begitu di kaguminya. Berilmu, cerdas, ahlaknya tak diragukan, dan salah satu murid kesayangan ustadz, murrobbi A’isyah waktu di SMA dulu. Masya Allah. “ngapain ya ibu Kak Rahman ke sini?, kan kak Rahman belum selesai kuliahnya? Kalau hanya sekedar menjenguk sih kan ntar lagi liburan semester. Kalau hanya sekedar jalan-jalan, kan tadi ibunya bilang kalau udah nda punya uang gitu. Astaghfirullah, kok jadi benih ghibah dalam hati ya? Ya Allah . . .” debatnya dalam hati

Setibanya di pondokkan A’isyah pun kemudian melaksanakan sholat magrib. Dilanjutkan dengan dzikir yang menjadi amalan rutinnya kemudian ia sholat 2 rakaat.

Setelahnya sholat, dilihatnya materi yang di fotokopinya tadi sore. A’isyah pun membeca slide demi slide. Tiba-tiba handphonenya berdering

“abu hurairah, ustadz! Masya Allah … ada apa ya beliau menelponku” tanyanya dalam hati. Segra di angkat telpon dari ustadznya, sang murobby A’isyah.

“ya, salamun ‘alaykum ustadz?” Tanya A’isyah

“waalaykum salam warahmatullah wabarakatuh, A’isyah bagaimana kabarnya kalian di situ?”

“Alhamdulillah, bae-bae ji ustadz”

“lagi sedang apa”

“nda ji, lagi ngapal-ngapal “

“ngapal ayat atau ngapal rumus?”

“lagi ngapal materi kuliah ustadz”

“oh gitu. Begini, ku titipkan pesan kepada kalian semua di sana agar senatiasa tetap menjaga hidayah yang Allah telah berikan kepada kalian. Sebab tabiat iman manusia tidak selamanya diatas. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dangan kemaksiatan. Dan salah satu jalur syetan yang di tempuh untuk merobohkan tembok keistiqomahan para aktivis itu dengan di hadirkannya fitnah pada diri mereka. Oleh karena itu, jaga pergaulan kalian terutama hubungan dengan lawan jenis. Jangan buat celah syetan untuk masuk dalam hati kalian.”

“na’am jadzakallahu khairan ustadz. . . mm.. afwan sebelumnya kayak ada sesuatu ya? Sebab biasanya tauhsiyah di sampaikan lewat sms?”

“ jadi gini, si Rahman itu 2 hari yang lalu dah nikah, tapi dengan cara yang tidak baik. Maksud ana asbabnya karena terfitnah tadi. Allah ‘alam. Sangat ana harapkan dari kalian untuk tetap menjaga hijab diantara lawan jenis. Jangan sedikit pun melonggar-longgarkan syariat. Alhamdulillah Allah masih menyelamatkan mereka. Coba seandainya saja Allah mencabut nyawa kita dalam keadaan sedang bermaksiat dalam artian hati kita sedang berpenyakit. Maka sangat merugi dan celakanya. Itulah pesan ana, ittaqillaha tsummastaqim!, ya sudah, ana amanakan nasihat ini tuk di sampaikan kepada mutarabiyah ana yang lain lewat anty.”

“jadzakallahu khairan ustadz”

“na’am wa iyyaki. Belajar baik-baik, jalankan amanah ortu dan dakwah, tetap istiqomah. Salamun ‘alaykum warahmatullah”

“waalaykum salam warahmatullahi wabarakatuh” jawabku

Bersambung insya Allah . . .

Rabu, 03 Juni 2009

Pangeran Dalam Hati

Pengeran Dalam Hati

Sore itu A’isyah berjalan menyusuri setapak pondokkan Reva. Dia bermaksud meminjam materi kuliah untuk di fotokopy sebab lusa akan ada final terakhirnya. Sepanjang jalan tak henti ia melantunkan ayat-ayat Al-Quran yang di murojaahnya. Tiba-tiba saja ia bertemu akhwat senior, seketika bibirnya terhenti berkomat-kamit. Ia pun tersenyum dan menyalami akhwat tersebut “Salamun ‘alayk ka . . . mau qi kemana ka?” sapa Aisyah. “ waalaykum salam warahmatullah, ini de . . . lagi temani tante mau ke pondokkannya temannya anaknya” jawab kak Naila. “oh . . . tantenya kakak ya?, mm . . . kaya kenal?” jawabnya. “iya nak, wajah’ta kaya nda asing?” sambar tante itu. “yah ! ku ingatqi sekarang, kalo nda salah ibunya kak Rahman ya?”, “iya nak, saya ibunya Rahman”. “wah, masya Allah . . . kapan qi datang kesini tante?, ini adiknya kak Rahman ya?” tanyaku. “sepekan yang lalu nak kita kesini. Iya, ni adiknya Rahman. Yah datang jalan –jalan ji saja kesini”. “senang sekali bisa qi ketemu disini tante, Mm . . . tapi afwan kak, tante, buru-buru ka, mau ke tempatnya temanku nda enak dah janji mau datang tepat waktu. Oh iya kapan-kapan jalan-jalan qi ke pondokkanku”. “oh iya nda pa pa ji, iya insya Allah nanti kalo ada waktu kita ke pondokkan’ta,”. “na’am, salamun’ Alaykum semua . . .” “waalaykum salam warahmatullah . . .

“kok jadi deg-degkan gini yah” Tanya aisyah dalam hati. Astaghfirullah . . . kenapa jadi teringat dia? Ya Rabb . . .

“Assalamu ‘alaykum, Re ..va..” panggil A’isyah

“Wa alaykumussalam . . . masukki A’isyah !” jawab Reva

Manami slide yang mau di kopi ukhty?

Ni, di kembalikan ji tho secepatnya?

“Iyye . . . insya Allah, habis fotokopy ku kembalikan ji. Mau ka fotokopi di depan. Ya dah pergi ma pade nah, biar nda kemalaman ka di jalan. Assalamu ‘alaykum . . .” A’isyah pun keluar dan berjalan secepatnya menuju ke tempat fotokopi.. lagi-lagi di perjalanan ia teringat dia. Namun, kembali ia beristighfar . . .

Lama kemudian ia sampai ke pondok Bunga, pondok yang di tempati Reva sekarang.

“Assalamu ‘alaykum,,”

“iya, masuk me ki saja ukhty,” jawab Reva.

“syukran nah, afwan selalu kasi repot ki.”

“nda ji . . .ya Allah ukhty.. ukhty.”

“oh ya, adaji ka Nur ?” tanyanya

“ada ji, baru pulang juga kaya dari kampus”

“ya dah, ke kamarnya ka Nur dulu nah, sekalian pamit ka. Sekali lagi syukran . . . Assalamu ‘alaykum”

“iyye . . . wa alaykum salam”

Bersambung, insya Allah . . .

Sabtu, 23 Mei 2009

Cermin Muslimah

Sebutlah Fulanah muslimah yang baru saja hijrah ke jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika hidayah itu datang, dan ia memilih untuk bergabung dalam suatu kafilah dakwah, maka sejak hari itu pun aktivitas kesehariannya menjadi berubah: kuliah, ta’lim, musyawarah, dan aktivitas-aktivitas dakwah lainnya. Amat sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya yang penuh dengan hura-hura dan kesia-sian.

Seiring berjalannya waktu, amanah dakwah pun mulai ia emban. Awalnya adalah seorang anggota departemen yang mungkin pada saat itu ia pun sendiri tidak terlalu mengerti dengan apa yang ia pikul. Hingga Allah menakdirkannya untuk memikul suatu amanah yang pada saat itu terasa amat berat baginya. Menjadi seorang Sekretaris Mushalla yang berada di Faklutasnya. Berbekal ilmu yang ia peroleh di halaqah tarbiyah plus ta’lim dan musyawarah-musyawarah, ia pun menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Kesibukan dengan aktivitas dakwahnya, kadang membuatnya lupa dengan jadwal kuliah yang merupakan tugasnya sebagai seorang mahasiswa. Namun hal itu tidak menjadi suatu yang harus dipermasalahkan, karena ia yakin, barang sipapa yang menolong agam Allah, maka Allah akan menolongnya dan memudahkan segala urusannya, namun bukan berarti ia meninggalkan semua aktivitas dunianya. Dan itu ia buktikan selama bergelut dengan amanah-amanah dakwah.

Saat itu, amanah yang harus diselesaikannya adalah menyelesaikan Laporan Pertanggungjawaban ( LPJ ) Kepengurusan Mushalla, yang hari itu juga harus diselesaikannya, karena akan diserahkan kepada pengurus ikhwa (laki-laki). Ia p[un sibuk mengurus lembar-lembar LPJ tersebut bersama dengan Wakil Ketuanya (akhwat) dari pagi hingga menjelang dhuhur. Namun karena ada sedikit kesalahan teknis, maka mereka berdua harus kembali ke rumahny, karena ada sebagian file LPJ yang masih tertinggal di rumahnya. Padahal lembar LPJ tersebut harus diserahkannya ba’da ashar.sesampai dirumhanya, dan membuka file-file yang ada di computer, ternyata flash disk yang digunakan bermasalah (bervirus) sehingga semua file yang ada dilayar komputer menjadi hilang dan terhapus. Hal tersebut membuatnya menjadi panik. Yang ia bayangkan adalah bagaimana komentar ikhwa tentang amanah yang sedang diselesaikannya…ditambah pada saat itu ia menerima telepon dari teman kuliahnya yang ternyata hari itu tepat pukul 15.00 WITA ujian praktikum salah satu mata kuliahnya yang merupakan penentuan kelulusan mata kuliah tersebut, sedangkan pada saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.45, bisa dibayangkan betapa paniknya ia pada hari itu, Qadarullah…semuanya telah terjadi. Kalaupun ia ke kampus dan mengikuti ujian tersebut, dengan resiko ia terlambat dan kemungkinan tidak diizinkan untuk masuk ruangan, kalaupun ia ia diizinkan untuk masuk ia yakin tidak aka nada satu soal pun yang bisa dijawabnya, karena memang sebelumnya tidak ada persiapan sama sekali. Maka daripada tidak ada satu pun yang bisa ia dapatkan, ia pun memilih untuk tidak mengikuti ujian dan harus menerima resikonya yakni TIDAK LULUSmata kuliah tersebut. Dan itu yang dipilihnya. Setelah menerima telepon tersebut, dan telah bulat tekadnya untuk tidak mengikuti ujian, ia bersama wakil ketuanya berusaha memperbaiki file LPJ yang error tersebut dan membawa computer yang bermasalah ke servis komputer. Alhamdulillah, pertolongan Allah pada amanah yang dipikulnya. File LPJ tersebut berhasil dilacak oleh servicer, dan komputernya pun bisa diperbaiki. Lembar LPJ-nya pun diserahkan ke ikhwa tepat pada waktunya…

Keesokan harinya, ia berusaha menghadap ke koordinator praktikum untuk meminta keringanan agar dapat diizinkan untuk mengikuti ujian susulan. Tapi sekali lagi Qadarullah… tidak ada keringanan bagi yang tidak punya alasan selain sakit. Akhirnya, pengumuman hasil ujian punpun keluar dan ditempelkan di papan pengumuman. Namanya termasuk deretan nama-nama yang tidak lulus mata kuliah itu. Dan itu artinya ia tidak lulus mata kuliah itu. Menghadap ke dosen sudah dilakukannya, tapi sekali lagi Qadarullah…mata kuliah itu tidak menerima alasannya.

Tibalah waktunya ujian final. Walaupun ia sudah dikatakan tidak lulus mata kuliah tersebut, namun ia tetap datang untuk mengikuti ujian final. Di depan pintu ruang ujian, ia dianjurkan oleh asisten yang bertugas mengawas pada saat ujian, untuk tidak usah mengikuti ujian final, alasannya walaupun mengikuti ujian tersebut, tapi tetap tidak akan lulus. Namun, dengan alsannya bahwa ia hanya ingin menguji dirinya sendiri tentang nata kuliah tersebut. Walaupun memang ia sudah yakin tidak lulus. Akhirnya ia di ijinkan masuk, namun tidsk terdaftar sebagai peserta ujian.

Tibalah saatnya waktu keluar nilai akhir dari mata kuliah tersebut. Dan masya Allah, Allah membuktikan janjiNya. Namanya terpampang sebagai salah seorang yang mendapat nilai A. Malahan beberapa orang temannya yang lulus ujian praktikum saat itu ada yang tidak lulus mata kuliah tersebut. Haru dan Syukur mengiringi hatinya yang bertekad untuk tetap semangat dan tetap istiqomah untuk berada di jalan dakwah sebagai ansharullah, penilong agama Allah. ”intanshurullah yanshurkum . . .”. Barang siapa menolong agam Allah, niscaya Allah akan menolongnya.

Kamis, 21 Mei 2009

ALBUM CINTA TUK SAUDARIKU

Dari keimanan Allah akan semaikan cinta
Dari kesahlihan Allah akan tanamkan kasih
"Sesungguhnya Oarng-orang yang beriman dan beramal shalih
Allah akan menanamkan dalam hati mereka rasa cinta kasih" (QS. Mariam:96)
BUat SauDariku,
semoga Allah selalu mengikat hati kita
dengan cinta karenaNya
sebab
ukhuwah adalah cinta yang mengalir melalui keimanan
bersemi dalam gerakan
tertawa dalam doa
dan berbuah pertemuan syurga
ukhuwah . . .
adalah saling menguatkan, menjaga,
memperbaiki, memberi dan menghilangkan

Jumat, 15 Mei 2009

UNTUKMU YANG ATHEIS

1 Tamparan

Untuk 3 Pertanyaan…

Dikisahkan ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri, kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang guru agama, kiyai, atau siapa saja yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang kiyai.

Pemuda : Anda siapa dan apakah bisa menjawab pertanyaan – pertanyaan saya?

Kiyai : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan Anda.

Pemuda : Anda yakin? Sedangkan professor dan banyak orang pandai tidak mampu menjawab pertanyaan saya.

Kiyai : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.

Pemuda : Saya punya 3 pertanyaan: 1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya, 2. Apakah yang dinamakan taqdir?, 3. Kalau syaithan diciptakan dari api kenapa dia dimasukkan ke neraka yang terbuat dari api, tentu tidak akan menyakitkan buatnya sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?

Tiba-tiba Kiyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.

Pemuda (sambil menahan sakit) : Kenapa Anda marah pada saya?

Kiyai : Saya tidak marah…Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 pertanyaan yang Anda ajukan kepada saya.

Pemuda: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.

Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda: Tentu saja saya merasakan sakit.

Kiyai : Jadi Anda percaya bahwa sakit itu ada?

Pemuda: Ya!

Kiyai : Tunjukkan pada saya wujud sakit itu!

Pemuda : Saya tidak bisa.

Kiyai: Itulah jawaban pertanyaan pertama…kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujud-Nya. Apakah tadi malam Anda bermimpi akan ditampar oleh saya?

Pemuda : Tidak.

Kiyai: Apakah pernah terfikir oleh Anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?

Pemuda : Tidak.

Kiyai: Itulah yang dinamakan taqdir. Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar Anda?

Pemuda : Kulit.

Kiyai: Terbuat dari apa pipi Anda?

Pemuda : Kulit.

Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : Sakit.

Kiyai : Walaupun syaithan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Allah menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syaithan.

Satu hal lagi, argumen sederhana untuk orang atheis atau untuk orang-orang yang sering meragukan & mempertanyakan keberadaan Tuhan adalah: “Saya tidak percaya kalau anda punya otak, kecuali Anda tunjukkan otak tersebut”. Nah Lho??!

Kamis, 14 Mei 2009

Album hidupku

Bismillah

Awan Kelabu

Pernahkah merasa dunia di sekeliling Anda adalah dunia yang sangat tidak beres? Selalu ada saja yang salah dari setiap sisi bila kita memandangnya. Dengan kata lain, sangat banyak masalah! Temen yang menyebalkan, tetangga pondokkan yang tak terhitung seringnya bertingkah menjengkelkan, ditambah lagi nyetel kaset lagu dangdut keras-keras. Hm . . . juga para tukang yang membangun pondokkan disebelah tak kalah ikut andil dalam memperlengkap menu kekesalan menjemput dengan teriakan gombal setiap mahasiswi yang pulang kampus melintas di depan pondokkan tersebut, dan seterusnya dari hal-hal yang Anda tidak sukai.

Belum lagi amanah kuliah yang setumpuk tak habis-habis,musyawarah sini musyawarah situ,juga amanah dakwah atau organisasi yang selalu saja ada kendala saat berusaha di kerjakan. Pulsa yang seakan begitu cepat berkurang entah kemana, bensin yang tak pernah bertambah murah, makanan di kantin yang juga semakin mahal. Laptop yang hobi ngadat, printer yang senang mengolok-olok dengan kemogokkannya.

Dan tak kalah tidak beresnya: Diri sendiri! Badan yang semakin hari kok rasanya semakin kurus, hidung yang tak pernah mancung walau sudah di pencet dengan berbagai cara. Wajah yang walau kita sudah patut manut di depan cermin lama sekali, tetap saja menjadi wajah yang itu-itu juga. Manajemen waktupun bermasalah, selalu saja terburu-buru. Memandang tangan ini, menambah gerutu. Mengapa tangan ini tidak menghasilkan apa-apa? Tidak berbakat, tidak ada prestasi.

Ingin bercerita kepada teman, mereka tak mau mendengarkan. Mereka hanya bersemangat memberi wejengan. Ceramah sini-situ, kiri-kanan, atas-bawah bahkan sebelum kita berbicara satu paragraph pun! Tak jarang mereka malah menimpali dengan cerita masing-masing, dan kitalah yang akhirnya harus diam, duduk manis mendengarkan.

Oh god, why does my live should be like this? My heart feels so blue . . .

Senadainya saya diciptakan menjadi orang yang berbeda. Betapa enaknya menjadi anak orang kaya raya, tak perlu susah-susah berpikir, segala fasilitas sudah ada. Betapa enaknya menjadi orang cantik, tak perlu susah bermanis-manis, semua orang sudah menyukai dengan mudah. Betapa enaknya menjadi orang yang berbakat, tak perlu pontang-panting mendapat penghargaan. Tapi impian seindah apapun bukan apa-apa, tetap saja kenyataanya berbeda.

Maka berenang-renanglah hati yang biru dalam kemurungan. Dan meyakinkan diri sendiri setiap hari bahwa inilah kedudukan yang menjadi takdir hidup. No way out. Percuma mencari jalan pintas.

Setelah jatuh pada lembah pikiran kelam beberapa detik . . . beberapa hari . . . beberapa pekan . . . beberapa bulan . . . dalam kesedihan yang tidak tahu dimana pangkalnya dan belum jelas ujungnya, tampaknya saya harus menyerah untuk berhenti sejenak. Menanyakan kembali pada diri, apakah tak ada pilihan cara hidup yang lain? Memberanikan menengok sejenak kebelakang. Terhenyak. Tuhan, tak ada yang berubah! Saya tetap saya.yang bertambah hanya kebencian pada semua orang dan diri sendiri! Dengan galaunya kalbu, tak ada yang berubah. Tetangga saya tetap suka lagu-lagu dangdut itu.

Jadi untuk siapapun yang sedang merasakannya, cepat lepaskan kaca mata hitam itu. Kita sudah sedemikian lama memakainya. Kemanapun mata memandang, selalu menghadirkan kegelapan. Warna-warni pelangi dan rimbunnya pohon-pohon kasturi tak dapat dinikmati . memakai kacamata hitam tidak mengubah apa-apa, bahkan sehelai rumputpun tetap hijau warnanya. Bila yang tampak hitam belaka, bukan, sama sekali bukan salah si bola mata atau pada ketetapan ilahi, melainkan kebodohan kita dalam cara memandangnya.

Ada seorang gadis yang selalu tampak ceria setiap saat. Membuat orang-orang disekitarnya heran bercampur cemburu. “ bagaimana engkau selalu tampak bahagia?”, “ apakah kau tak punya masalah?”, “apakah orang tuamu kaya raya?”, begitulah pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan untuk gadis itu. Si gadis menjawab ramah sambil tersenyum, “tidak, aku tidak sempurna, aku punya berbagai masalah dan orang tuaku biasa-biasa saja. Kalau aku tampak ceria, mungkin itu karena aku punya kotak rahasia.”

Kotak rahasia? Kotak rahasia apa itu? Dimana kami bisa membelinya? Orang-orang bertanya penuh rasa ingin tahu. “kotak itu aku buat sendiri. Ku susun kertas-kertas didalamnya. Setiap hari kuambil satu kertas dan kutulis apa yang aku miliki hari ini. Aku punya ibu, punya pussy, kucingku, punya meja belajar, punya telur diatas meja makan, punya laptop yang biasa jadi tempatku curhat, punya napas, punya air, ku tulis semuanya dan ku masukkan kembali. Ketika aku sedih atau kecewa, aku tinggal membuka kotak rahasiaku itu, dan membaca kertas-kertas isinya. Dan aku akan sadar lagi betapa banyak yang aku miliki, betapa banyak yang Allah berikan padaku. Jadi dengan alasan apa aku tidak berbahagia?

Sungguh, dengan syukurnya, Allah telah memberikan nikmat lain yang begitu besar, dan begitu berharga: kebahagian. Sesuatu yang emas seberat gunung uhud belum tentu bisa membelinya.

“jika kamu pandai bersyukur kepada-Ku, aku akan tambahkan nikmat-nikmat kepadamu…” (Qs. Ibrahim: 7)

Kunci lain untuk memudarkan nuansa biru hati yang murung adalah dengan berhenti membandingkan. Membandingkan dengan yang lebih kaya, kita akan selalu menjadi miskin. Dengan si selebritis kampus, kita akan selalu jadi si itik buruk rupa. Dengan Orator, kita akan selalu merasa pemeran utama film bisu. Dan yang lebih menyedihkan, kita selalu memikirkan apa yang tidak kita punyai sedang nikmat yang begitu banyak di berikan Allah kian di ingkari.

Dan saya juga kurang sependapat dengan orang-orang yang suka membandingkan diri dengan orang yang dianggap lebih rendah tingkatannya. Mereka senang mengetahui bahwa ada orang-orang yang kurang cantik, kurang pintar, kurang kaya dari pada dirinya. Dan mereka bersyukur atas pandangan itu. Menurut saya, tidak demikian, setiap orang _bagaimanapun keadaannya_memiliki kesempatan untuk berbahagia. Dengan kesabaran dan keteguhan iman kepada Robbnya atas segala keterbatasan atau kekurangan yang ia miliki. Mungkin ia lebih mulia di mata Allah. Maka memandang rendah seseorang atas yang lain berdasarkan apa tampak pada mata hanyalah sebuah tipuan.

Semestinya kita berbahagia bukan karena merasa lebih beruntung dari orang lain. Berbahagialah karena diri kita sendiri. Karena begitu banyak yang Allah telah karuniakan kepada kita, tak peduli ia terlihat lebih banyak atau sedikit dari orang lain. Begitu banyak nikmat itu sampai air selaut pun tak cukup sebagai tinta untuk menuliskannya. Dan bagaimana seandainya setelah kita berusaha membanding-bandingkan sekuat tenaga, ternyata kita tetaplah di level terbawah dari siapapun yang kita kenal. Apakah itu akan melegalkan kita tidak layak bersyukur? Naudzubillah . . .

“ . . . tapi jika kamu tidak bersyukur, tunggulah azabku yang pedih.”

Hati yang selalu sedih, dan perasaan depresi berkepanjangan itu juga bagian dari azab dunia bagi orang-orang yang tak pandai bersyukur. Dan aduhai azab akhirat adalah kesedihan sejati. . . . .

Kadang sedih mendera, kadang masalah dan musibah tak izin menimpa. Urai air mata tak bisa di tahan jatuhnya. Bukan, bukan artinya Allah tidak sayang pada kita. Dia sangat rindu pada hamba-hambaNya, untuk mendekat padaNya, untuk bersimpuh di depanNya, untuk kembali kepada cintaNya. Dan apakah akan tetap memberi nama musibah pada sesuatu yang mendekatkan kita pada Allah? Demi Allah tidak. Dengan setiap lara, Allah juga mengingatkan kita agar tidak terlalu mencintai dunia karena dunia memang bukan untuk ketenangan kita.

Tanpa mengerti aku menangis

Dalam pangkuan hati yang pergi

Pada dekapan yang telah mati

Dan tak berhak lagi ku cari

Saudariku . . .

Ajari aku mengakrabi bumi dan mengalirkan sungai-

Sungaiku

Pada resapan serat-serat sajadahku

Seperti yang kau lakukan malam itu

Aku cemburu

Rabu, 13 Mei 2009

The Power of Love

Me-recharge Energy Cinta

Kalau kita mau merenung sejenak memperhatikan apa yang ada di sekeliling kita, maka kita akan melihat bahwa sangat banyak cinta yang telah kita peroleh. Cinta dari kedua orang tua, kakak dan adik kita, sahabat-sahabat, guru, tetangga bahkan dari orang-orang yang tidsk pernah kita duga sebelumnya, mereka senantiasa memberikan cintanya kepada kita. Sebagian mungkin tidak tercetus secara lisan, tapi getaran itu tetap tertangkap melalui tindakan mereka, dan mewarnai hari-hari kita. Bahkan dari mahluk selain manusia pun, kita senatiasa mendapatkan cinta itu.

Ingatkah bahwa matahari hari ini masih bersinar untuk memebntu proses fotosintesis tumbuhan, yang kemudian menghasilkan O2 untuk kita hirup? Ingat juga ketika semalam kita memandangi bulan yang menebarkan cahaya dengan cantiknya untuk menemani kegelapan sang malam? Bahwa angin laut dan gelombang telah dan akan senantiasa membantu manusia dalam menepikan ikan untuk ditangkap? Atau perasaan senagn kita saat tergelak memperhatikan seeokor kucing yang terbekit benang rajutan? Atau kedamaian yang kita rasakan saat melihat sepasang angsa berenang dengan anggunnya di tengah danau? Subhanallah . . .

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripadaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir” (QS. Al-Jaatsiyah:13)

Begitu banyak energy cinta yang telah di transfer kedalam kehidupan kita, bukankah akan sangat adil jika kita ingin membalas semua cinta itu dengan energy yang sama, atau bahkan lebih besar? Bahkan dalam ilmu fisika pun ,kita mmepelajari tentang hukum kekekalan energi. Setiap energy yang kita keluarkan untuk sekitar kita, ia tidak akan pernah hilang menguap begitu saja. Energi itu pasti akan kembali kepada kita, terkadang setelah bertrasformasi ke dalam bentuk yang lain.

Namun kita sabagai seorang muslim yang sadar tentang arti cinta yang sesunguhnya tentu menyadari bahwa hany ketulusanlah yang mamou menebar energy cinta itu. Cukuplah kita mengharapkan penegmbalian energy itu dalam bentuk pahala dan catatan amal kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala

Pada hari ini tiap-tiap jiwa di beri balasan dengan apa yang diusahaknnya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya (QS. Mukmin : 17)

Sampai detik ini, semoga secara diam-diam telah terbesit di hati sebuah keinginan untuk membagi energy cinta itu, lalu bersama-sama kita bertanya : bagaimana caranya? Maha besar Allah yang telah menyiapakan jawaban atas pertanyaan itu. “ sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang” (QS. Maryam : 96)

Subhanallah . . . lihatlah! Ternyata rasa sayang itu akan Allah tanamkan ke dalam hati orang-orang yang beriman dan beramal sholeh. Tentu saja rasa kasih saying yang dimaksud disini adalah yang sesuai dengan syariat islam, kasih sayang yang bernilai ibadah, menjadikan orang-orang yang melaksanakannya mendapat naungan Allah pada hari dimana tiada naunagn kecuali dari-Nya, kasih sayang yang membawa orang-orang yang melaksanakannya naik keatas mimbar cahaya dan membuat iri para Nabi dan Syuhada.

Manusia adalah mahluk social. Setiap hari kita dituntut untuk berinteraksi dengan berbagai macam orang. Mulai dari membuka mata, hingga ketika kita akan menutupnya untuk menunaikan hak istrahat tubuh di waktu malam, kita senatiasa akan bertemu dengan berbagai macam orang. Berinteraksi, sesungguhnya adalah salah satu cara kita untuk memberi energy cinta kepada sekitar kita.

Pada alam kita member cinta, dengan menjaga keseimbangannya dan tidak membuat kerusakan. Pada hewan dan tumbuhan pun kita member cinta, dengan memberikan hak mereka ketika menjadi tanggungan kita,menampakkan ahlak yang terbaik. Dan pada manusia, transfer energy cinta itu dapat kita lakukan dalam berbagai cara, baik langsung maupun tidak.

Mungkin kita bisa menganalogikan hati manusia seperti sebuah kolam penampungan. Di dasar kolam itu terdapat banyak keran yang dapat di buka/tutup untuk pengaturan keluarnya isi kolam. Tentu saja, keran itu akan mengalirkan apa yang ditampung dalam kolam hati kita. Dan sebuah keniscayaan akan berlaku, ketika keran tersebut di buka terus menerus tanpa ada aliran masuk kembali, kolam itu akan menjadi kering. Maka berinteraksi adalah aktivitas kita dalam membuka “keran” untuk mencurahkan energy cinta. Dan agar kasih sayang sebenarnya yang teralirkan, “kolam” tersebut haruslah diisi dengan materi yang sama, yaitu cinta dan kasih sayang.

Kembalilah sejenak untuk membaca firman Allah diatas. Untuk menanamkan kasih sayang di ahti kita, kuncinya adalah beriman dan beramal sholeh. Amrilah me-recharge energy cinta kita hanya dari sumber cinta yang abadi, Dia yang memiliki cinta yang tak terperi, cinta yang sangat sempurna. Mari, kisa isi kembali energy cinta di hati kita dengan shalat-shalat khusyu’ kita, tilawah-tilawah tartil kita, shaum sunnah kita, sedekah dan infak kita hari ini, doa-doa panjang kita di waktu malam, serta dari semua pos ibadah dan amal sholeh yang telah Allah sediakan bagi kita.

Karena, untuk membuka “ keran” pencurahan energy cinta dari “kolam” penampungan yang ada pada hati ini, terlalu sombong rasanya jika kita tidak pernah mengisi kolam tersebut dengan energy cinta dari-Nya. Ya, jika kolam iu sudah kering apa yang harus kita bagi?

Senin, 11 Mei 2009

lensa Kesehatan

PENYAKIT DAN OBAT PADA LALAT

Nabi Bersabda, “Apabila seekor lalat masuk ke dalam minuman salah seorang kalian, maka celupkanlah ia, kemudian angkat dan buanglah lalatnya sebab pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya ada obatnya”. (HR. Bukhari, Ibn Majah, dan Ahmad)

Dalam riwayat lain:

“Sungguh pada salah satu sayap lalat ada racun dan pada sayap lainnya obat, maka apabila ia mengenai makananmu maka perhatikanlah lalat itu ketika hinggap di makananmu, sebab ia mendahulukan racunnya dan mengakhirkan obatnya”

Diantara mu’jizat kenabian Rasulullah dari aspek kedokteran yang harus di tulis dengan tinta emas oleh sejarah kedokteran adalah alat pembuat sakit dan alat pembuat obat pada kedua sayap lalat sudah belia ungkapkan 14 abad sebelum dunia kedokteran berbicara. Dan penyebutan lalat pada hadits itu adalah bahwa air tetap suci dan bersih jika dihinggapi lalat yang membawa bakteri penyebab sakit kemudian kita celupkan lalat tersebut agar sayap pembawa obat (penawar) pun tercelup ke air.

Dan percobaan ilmiah kontemporer pun sudah dilakukan untuk mengungkap rahasia di balik hadits ini. Bahwasannya ada kekhususan pada salah satu sayapnya yang sekligus menjadi penawar atau obat terhadap bakteri yang berada pada sayap lainnya. Oleh karena itu, apabila seekor lalat di celupkan ke dalam air keseluruhan badannya, maka bakteri yang ada padanya akan mati, dan hal ini cukup untuk menggagalkan “usaha lalat” dalam meracuni manusia, sebagaimana hal ini pun telah juga ditegskan secara ilmiah bahwa lalat memproduksi zat sejenis enzim yang sangat kecil yang dinamakan bakteri Yofaj , yaitu tempat tubuhnya bakteri. Dan tempat ini menjadi tumbuhnya bakteri pembunuh dan bakteri penyembuh yang ukurannya sekitar 20:25 mili micron. Maka jika seekor lalat mengenai makanan atau minuman, maka harus dicelupkan keseluruhan badan lalat tersebut agar keluar zat penawar bakteri tersebut. Maka penegtahuan ini sudah di kemukakan Nabi kita Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dengan gambaran yang menakjubkan bagi siapapun yang menolak hadits lalat tersebut.

Dan Dr. Amin Ridha, Dosen Penyakit Tulang di jurusan Kedokteran Univ. Iskandariyah, telah melakukan penelitian tentang “hadits lalat ini” dan menegaskan bahwa di dalam rujukan-rujukan kedokteran masa silam ada penjelasan tentang berbagai penyakit yang disebabkan oleh lalat. Dan di zaman sekarang, para pakar penyakit yang mereka hidup berpuluh-puluh tahun, baru bisa mengungkapkan rahasia ini, padahal sudah dibongkar informasinya sejak dahulu. Yaitu kurang lebih 30-an tahun yang lalu meraka menyaksikan dengan mata kepala sendiri obat berbagai penyakit yang sudah kronis dan pembusukan yang sudah menahun dengan lalat.

Berdasarkan hal ini, jelaslah bahwa ilmu pengetahuan dalam perkembangannya telah menegaskan penjelasannya dalam teori ilmiah sesuai dengan hadist yang mulia ini. Dan mu’jizat ini sudah dikemukakan semenjak dahulu kala, 14 abad yang silam sebelum para pakar kedokteran mengungkapkannya baru-baru ini

Mungkin aku tidak mewarisi ketabahan Nuh
keyakinan Ismail
harta sulaiman
atau kejujuran Rasulullah Muhammad nabi kita
tapi yang bisa ku pastikan
aku bisa mewarisi sisa-sisa
kerinduan Adam dan Hawa pada ru,ah sejati mereka
di Jannah, insya Allah . . .

KAMUT

seorang pemuda melukis kekuatan lewat masalahnya
tersenyumsaat tertekan
tertawa di saat hati sedang menangis
tabah di saat terhina
mempesona karena memaafkan
pemuda mengasihi tanpa pamrih
dan bertambah kuat dalam doa dan pengharapan
pesan ini di kirim khusus untuk setiap
pemuda kepunyaan Allah

Kamis, 07 Mei 2009

BINGKISAN

U N I K

BAYI PALING BANYAK MAKAN

Bayi apa yang makannya luar biasa banyak? Jawabannya adalah bayi ngengat polyphemus. Ngengat adalah sebangsa kupu-kupu, tapi biasanya ia hidup beraktivitas di malam hari. Larva alias ulat dari ngengat polyphemus (alias antherea Polyphemus) dari Amerika Utara makan sebanyak 86 ribu kali berat badan lahirnya selama 56 hari kehidupannya, masya Allah . . . bila dibandingkan dengan manusia itu sama dengan seorang bayi seberat 3.17kg makan 273 ton makanan bayi

Selasa, 28 April 2009

RUHIYAH

Kalbu kita memiliki ruh, yang karenanya ia bisa hidup, sakit atau mati. Ruh didalam kabu inilah yang kan menjadi kekuatan perubahan menuju kebaikan. Dimana kualitas kekuatannya akan pararel dengan kehidupan kalbu. Artinya semakin hidup kalbu kita, semakin kuat pula energi perubahan yang akan kita miliki. Pun demikian halnya, jika ia semakin lemah, akan semakin lemah pula energi yang ada. Adapun kematiannya, berarti menihilkan energi perubahan itu sendiri.

Padahal, ruh kalbu inilah tempat semua kebaikan manusia berasal. Karena darinya akan muncul kekuatan pendengaran, penglihatan, rasa malu, harga diri, keberanian, kesabaran, serta seluruh sifat terpuji yang lain. Termasuk terbentuknya karakter ‘benci keburukkan’. Hingga jika pun ada banyak keburukkan dibenangkan di hadapan kita, kalbu yang hidup dan berkarakter ‘benci keburukkan’ akan dengan mudah berpaling darinya. Sebab, ia memang membencinya.

Allah memberitahukan bahwa kehidupan kalbun ada di dalam iman. Sebagaiman firman-Nya “Apakah orang yang sudah mati (hatinya), kemudian kami hidupkan dan kami berikan padanya cahaya yang terang, yang dengannya dia berjalan-jalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada di dalam kegelapan yang sekali-kali dia tidak dapat keluar darinya?”

QS. Al An’am :122

Perubahan karena iman

Keputusan untuk beriman kepada Allah adalah sebuah keputusan besar dalam hidup kita. Jika kalbu kita adalah ladang, maka iman adalah benih unggul sebuah pohon besar dan rindang. Akar pohon ini menghujam kuat dengan keteduhan yang dirindukan semua musafir serupa orang haus merindu air. Buahnya yang ranum dan lebat, tumbuh sepanjang tahun tak kenal musim. Dengan demikian, menjalani hidup sebagai hamba yang beriman, mestinya adalah seluruh proses memanen buah dengan kebahagiaan yang membuncah tanpa kenal lelah.

Bersama iman proses perubahan menuju kebaikan menemukan bentuknya. Sebab, ketika kita mengatahui bahwa prestasi tertinggi dalam hidup adalah ridha Allah, pencarian kita akan hakikat prestasi telah dimulai. Dan ia akan berlangsung sepanjang hayat kita, hingga kematian datang menjemput. Sakratul maut pun kita sambut tanpa rasa takut.

Untuk itu, kita membutuhkan ilmu yang kan memberi cahaya agar semua yang ada terlihat sebagaimana seharusnya. Hitan terlihat hitam, putih terlihat putih. Benar tampak benar, dan yang salah pun tidak menjadi samar-samar. Untuk akhirnya kita bisa memilah dan memilih dengan tepat. Hingga kita tidak tersesat, baik diawal perjalanan maupun di tengah-tengahnya. Agar pula ridha Allah bukan sebuah utopia. Meninggi dilangit angan-angan kita, seolah menjangkaunya adalah sebuah kemustahilan.

Tapi kita juga mebutuhkan iman yang menghihupkan kalbu. Agar ia berubah menjadi energi perubahan mencari dimana ridha Allah itu berada. Sebab rudha Allah berada di wilayahnya sendiri. Sehinggan seringkali tak dimengerti si pandir, atau tak sejalan dengan keinginan nafsuh. Terkadang ia berada di wilayah pengorbanan waktu, tenaga, harat, pikiran, bahkan nyawa. Terkadang ia ada dalam keadaan lapang atau sempit, kaya atau miskin. Ia berada di seluruh keadaan kita, saat kita kuat atau lemah, rela maupun terpaksa. Dan, kita harus selalu siap!

Kenapa Tidak Berubah

Jadi, jika status keislaman kita ternyata tidak menuntun kita menjalani perubahan ke arah yang lebih baik, berarti ada yang salah. Sebab Umar bin Khatab yang telah di hidupkan hatinya oleh Allah dengan iman, menjadi tidak sam dengan Abu Jahl yang tetap dalam kekafiran. Karena iman adalah ruh dan cahaya, sedang kekafiran adalah kematian dan kegelapan.

Allah berfirman, “Dan demikianlah, kami wahyukan kepadamu suatu ruh dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-kitab dan iman itu, tetapi kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang dengannya kami tunjuki siapa yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Sesungguhnya, kamu benar-benar memberi petunjuk kepda jalan yang lurus”. (Asy-Syuura : 52)

Bersama islam, kita menjadi tahu mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya. Mana yang halal dan mana yang haram. Mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang diridhai dan mana yang di murkai. Yang kesemuanya itu tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Bersamanya pula kita menjalani hari-hari dengan kerja keras mencari ridha Allah dan menghindari murka-Nya. Seharusnya hidup menjadi lapang dan tenang bersama islam.

Mari kita berubah. Agar iman kita tidak mandul, hinggga panen besar yang kita nanti terancam gagal.