Bismillah
Awan Kelabu
Pernahkah merasa dunia di sekeliling Anda adalah dunia yang sangat tidak beres? Selalu ada saja yang salah dari setiap sisi bila kita memandangnya. Dengan kata lain, sangat banyak masalah! Temen yang menyebalkan, tetangga pondokkan yang tak terhitung seringnya bertingkah menjengkelkan, ditambah lagi nyetel kaset lagu dangdut keras-keras. Hm . . . juga para tukang yang membangun pondokkan disebelah tak kalah ikut andil dalam memperlengkap menu kekesalan menjemput dengan teriakan gombal setiap mahasiswi yang pulang kampus melintas di depan pondokkan tersebut, dan seterusnya dari hal-hal yang Anda tidak sukai.
Belum lagi amanah kuliah yang setumpuk tak habis-habis,musyawarah sini musyawarah situ,juga amanah dakwah atau organisasi yang selalu saja ada kendala saat berusaha di kerjakan. Pulsa yang seakan begitu cepat berkurang entah kemana, bensin yang tak pernah bertambah murah, makanan di kantin yang juga semakin mahal. Laptop yang hobi ngadat, printer yang senang mengolok-olok dengan kemogokkannya.
Dan tak kalah tidak beresnya: Diri sendiri! Badan yang semakin hari kok rasanya semakin kurus, hidung yang tak pernah mancung walau sudah di pencet dengan berbagai cara. Wajah yang walau kita sudah patut manut di depan cermin lama sekali, tetap saja menjadi wajah yang itu-itu juga. Manajemen waktupun bermasalah, selalu saja terburu-buru. Memandang tangan ini, menambah gerutu. Mengapa tangan ini tidak menghasilkan apa-apa? Tidak berbakat, tidak ada prestasi.
Ingin bercerita kepada teman, mereka tak mau mendengarkan. Mereka hanya bersemangat memberi wejengan. Ceramah sini-situ, kiri-kanan, atas-bawah bahkan sebelum kita berbicara satu paragraph pun! Tak jarang mereka malah menimpali dengan cerita masing-masing, dan kitalah yang akhirnya harus diam, duduk manis mendengarkan.
Oh god, why does my live should be like this? My heart feels so blue . . .
Senadainya saya diciptakan menjadi orang yang berbeda. Betapa enaknya menjadi anak orang kaya raya, tak perlu susah-susah berpikir, segala fasilitas sudah ada. Betapa enaknya menjadi orang cantik, tak perlu susah bermanis-manis, semua orang sudah menyukai dengan mudah. Betapa enaknya menjadi orang yang berbakat, tak perlu pontang-panting mendapat penghargaan. Tapi impian seindah apapun bukan apa-apa, tetap saja kenyataanya berbeda.
Maka berenang-renanglah hati yang biru dalam kemurungan. Dan meyakinkan diri sendiri setiap hari bahwa inilah kedudukan yang menjadi takdir hidup. No way out. Percuma mencari jalan pintas.
Setelah jatuh pada lembah pikiran kelam beberapa detik . . . beberapa hari . . . beberapa pekan . . . beberapa bulan . . . dalam kesedihan yang tidak tahu dimana pangkalnya dan belum jelas ujungnya, tampaknya saya harus menyerah untuk berhenti sejenak. Menanyakan kembali pada diri, apakah tak ada pilihan cara hidup yang lain? Memberanikan menengok sejenak kebelakang. Terhenyak. Tuhan, tak ada yang berubah! Saya tetap saya.yang bertambah hanya kebencian pada semua orang dan diri sendiri! Dengan galaunya kalbu, tak ada yang berubah. Tetangga saya tetap suka lagu-lagu dangdut itu.
Jadi untuk siapapun yang sedang merasakannya, cepat lepaskan kaca mata hitam itu. Kita sudah sedemikian lama memakainya. Kemanapun mata memandang, selalu menghadirkan kegelapan. Warna-warni pelangi dan rimbunnya pohon-pohon kasturi tak dapat dinikmati . memakai kacamata hitam tidak mengubah apa-apa, bahkan sehelai rumputpun tetap hijau warnanya. Bila yang tampak hitam belaka, bukan, sama sekali bukan salah si bola mata atau pada ketetapan ilahi, melainkan kebodohan kita dalam cara memandangnya.
Ada seorang gadis yang selalu tampak ceria setiap saat. Membuat orang-orang disekitarnya heran bercampur cemburu. “ bagaimana engkau selalu tampak bahagia?”, “ apakah kau tak punya masalah?”, “apakah orang tuamu kaya raya?”, begitulah pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan untuk gadis itu. Si gadis menjawab ramah sambil tersenyum, “tidak, aku tidak sempurna, aku punya berbagai masalah dan orang tuaku biasa-biasa saja. Kalau aku tampak ceria, mungkin itu karena aku punya kotak rahasia.”
Kotak rahasia? Kotak rahasia apa itu? Dimana kami bisa membelinya? Orang-orang bertanya penuh rasa ingin tahu. “kotak itu aku buat sendiri. Ku susun kertas-kertas didalamnya. Setiap hari kuambil satu kertas dan kutulis apa yang aku miliki hari ini. Aku punya ibu, punya pussy, kucingku, punya meja belajar, punya telur diatas meja makan, punya laptop yang biasa jadi tempatku curhat, punya napas, punya air, ku tulis semuanya dan ku masukkan kembali. Ketika aku sedih atau kecewa, aku tinggal membuka kotak rahasiaku itu, dan membaca kertas-kertas isinya. Dan aku akan sadar lagi betapa banyak yang aku miliki, betapa banyak yang Allah berikan padaku. Jadi dengan alasan apa aku tidak berbahagia?
Sungguh, dengan syukurnya, Allah telah memberikan nikmat lain yang begitu besar, dan begitu berharga: kebahagian. Sesuatu yang emas seberat gunung uhud belum tentu bisa membelinya.
“jika kamu pandai bersyukur kepada-Ku, aku akan tambahkan nikmat-nikmat kepadamu…” (Qs. Ibrahim: 7)
Kunci lain untuk memudarkan nuansa biru hati yang murung adalah dengan berhenti membandingkan. Membandingkan dengan yang lebih kaya, kita akan selalu menjadi miskin. Dengan si selebritis kampus, kita akan selalu jadi si itik buruk rupa. Dengan Orator, kita akan selalu merasa pemeran utama film bisu. Dan yang lebih menyedihkan, kita selalu memikirkan apa yang tidak kita punyai sedang nikmat yang begitu banyak di berikan Allah kian di ingkari.
Dan saya juga kurang sependapat dengan orang-orang yang suka membandingkan diri dengan orang yang dianggap lebih rendah tingkatannya. Mereka senang mengetahui bahwa ada orang-orang yang kurang cantik, kurang pintar, kurang kaya dari pada dirinya. Dan mereka bersyukur atas pandangan itu. Menurut saya, tidak demikian, setiap orang _bagaimanapun keadaannya_memiliki kesempatan untuk berbahagia. Dengan kesabaran dan keteguhan iman kepada Robbnya atas segala keterbatasan atau kekurangan yang ia miliki. Mungkin ia lebih mulia di mata Allah. Maka memandang rendah seseorang atas yang lain berdasarkan apa tampak pada mata hanyalah sebuah tipuan.
Semestinya kita berbahagia bukan karena merasa lebih beruntung dari orang lain. Berbahagialah karena diri kita sendiri. Karena begitu banyak yang Allah telah karuniakan kepada kita, tak peduli ia terlihat lebih banyak atau sedikit dari orang lain. Begitu banyak nikmat itu sampai air selaut pun tak cukup sebagai tinta untuk menuliskannya. Dan bagaimana seandainya setelah kita berusaha membanding-bandingkan sekuat tenaga, ternyata kita tetaplah di level terbawah dari siapapun yang kita kenal. Apakah itu akan melegalkan kita tidak layak bersyukur? Naudzubillah . . .
“ . . . tapi jika kamu tidak bersyukur, tunggulah azabku yang pedih.”
Hati yang selalu sedih, dan perasaan depresi berkepanjangan itu juga bagian dari azab dunia bagi orang-orang yang tak pandai bersyukur. Dan aduhai azab akhirat adalah kesedihan sejati. . . . .
Kadang sedih mendera, kadang masalah dan musibah tak izin menimpa. Urai air mata tak bisa di tahan jatuhnya. Bukan, bukan artinya Allah tidak sayang pada kita. Dia sangat rindu pada hamba-hambaNya, untuk mendekat padaNya, untuk bersimpuh di depanNya, untuk kembali kepada cintaNya. Dan apakah akan tetap memberi nama musibah pada sesuatu yang mendekatkan kita pada Allah? Demi Allah tidak. Dengan setiap lara, Allah juga mengingatkan kita agar tidak terlalu mencintai dunia karena dunia memang bukan untuk ketenangan kita.
Tanpa mengerti aku menangis
Dalam pangkuan hati yang pergi
Pada dekapan yang telah mati
Dan tak berhak lagi ku cari
Saudariku . . .
Ajari aku mengakrabi bumi dan mengalirkan sungai-
Sungaiku
Pada resapan serat-serat sajadahku
Seperti yang kau lakukan malam itu
Aku cemburu
1 komentar:
weits . . . ternyata penulis pade, diam-diam menghanyutkan.
salah jurusan bu . . .
Posting Komentar