CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, 09 Juni 2009

Ungkapan Cinta Al-Ustadz Ihsan Zainuddin

USTADZ YUSRAN YANG SAYA KENAL
(Sebuah Kesan yang Berserakan Tentang Beliau dari Seorang Murid)


Muhammad Ihsan Zainuddin

Menjelang akhir tahun 1993…

Saat itu, kurang lebih baru dua bulan saya “menikmati” salah satu dari 2 mimpi yang saya idam-idamkan: belajar di Ma’had al-‘Ulum atau yang lebih akrab disebut dengan LIPIA. Dan 2 mimpi yang saya maksud adalah: (1) belajar di Universitas Islam Madinah Nabawiyah, atau (2) belajar di LIPIA. Pilihan itu adalah berdasarkan skala prioritas. Artinya jika pilihan pertama tidak keambil, ya paling tidak pilihan kedua jangan sampai lepas. Kedua mimpi itu memang telah lama “mengejar-ngejar” kehidupan saya. Sejak kelas 1 SMA…

Ketika itu, saya belum pernah mendengar apapun tentang Yayasan Fathul Mu’in (Wahdah Islamiyah tempoe doeleo) selain namanya. Itupun dari seorang kawan asal Makassar yang kebetulan sama-sama ngontrak rumah di bilangan Jalan Penegak. Karena hanya dengar nama, maka saya pun tidak terlalu berhasrat untuk mencari tahu lebih jauh tentangnya. Bahkan saya sempat berfikir, “Ah, aliran macam apa lagi ini?”

Hingga di sebuah sore yang agak mendung, seorang pemuda (baca: ikhwah) datang ke rumah kontrakan kami di Jalan Penegak itu. Kesan pertama yang tertangkap adalah pemuda ini jelas seorang “aktifis” yang sangat aktif. Terbukti dari sikat gigi dan odol yang selalu tersedia dalam tasnya. Hal lain adalah saya merasa bahwa pemuda ini nampaknya juga seorang ahli ibadah. Maaf, kesan itu muncul begitu saja, meski saya belum berkenalan lebih jauh dengannya. Kata teman ngontrak saya, “Akh ini dari Yayasan Fathul Mu’in di Makassar, dan sekarang akan berangkat ke Madinah untuk belajar di sana.” Ke Madinah??? Ke tempat impianku???

Kata “Madinah” memang cukup sensitif buat saya kala itu. Ada kesedihan saat mendengarnya waktu itu. Betapa tidak, di penghujung kelas 3 SMA (di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta), saya bersama Ustadz Ridwan Hamidi (Yogya) direkomendasikan oleh guru kami, Dr. Yunahar Ilyas, M.Ag untuk mengikuti tes ke Madinah di Pesantren Darussalam Gontor. Waktu itu, saya ingat sekali yang menguji kami adalah Syekh Dr. Muhammad ibn Khalifah al-Tamimy. Namun belakangan, saya mendengar bahwa hanya Ustadz Ridwan yang lulus. Yah, alhamdulillah ‘ala kulli hal. Mimpi tentang Madinah pun nyaris terhapus dalam pikiran saya.

Dan sore itu, sang akh dari Fathul Mu’in ini mengingatkan saya kembali tentangnya. Meski saya hanya bisa tersenyum pahit. “Oh iya, saya juga punya seorang kawan yang akan ke Madinah. Namanya Ridwan Hamidi. Nanti kalo’ Antum ketemu di sana, salam ya…dari Ihsan.” Hanya itu yang bisa saya titipkan lewat pemuda tersebut. Ia tersenyum kemudian berjanji untuk menyampaikan amanah itu. Dan di situlah awal mula Allah mempertemukan saya dengan Ustadz Muhammad Yusran. Karena pemuda yang saya maksud tidak lain adalah beliau sendiri.

Tapi peristiwa sore itu ternyata hanya sebuah awal untuk akhir yang tak terduga. Saya benar-benar lupa detail peristiwanya, tapi saya dengar kemudian Ustadz Ridwan belum berangkat-berangkat juga. Dan saya kemudian mendengar kabar angin bahwa saya sebenarnya termasuk yang lulus ke Madinah tahun itu!!! Benarkah itu??! The Dream comes true-kah ini??!

Bersama teman di rumah kontrakan itu, saya bergegas ke Atase Agama Saudi (saya lupa nama jalannya, tapi yang pasti tidak jauh dari Mesjid al-Azhar Kebayoran). Waktu itu, niat saya hanya ingin membantu Ustadz Ridwan yang belum berangkat juga karena (kalau tidak salah) surat panggilan dari Madinahnya tercecer. Tapi Ustadz ‘Abdullah Baharmus sungguh membuat saya kaget. “Dari Yogya sebenarnya ada 2 orang yang diterima tahun ini, tapi sampai sekarang mereka belum melapor…” ujarnya. Apa?? 2 orang? Yang satu pasti Ustadz Ridwan, tapi yang satunya siapa lagi? “Ridwan Hamidi dan Muhammad Ihsan,” lanjut Ustadz Baharmus. Apa?? Allahu akbar. Subhanallah. Alhamdulillah. Duhai Allah, seperti ini jalannya…Sungguh berliku…Engkau izinkan hamba untuk merasakan nikmat belajar di LIPIA, dan kini mimpi ke Madinah pun menjadi kenyataan. Allahu akbar.

Setelah menyimak arahan dan taujihat seputar keberangkatan dari Ustadz Baharmus, dengan hati yang riang gembira saya seperti melayang menyeberangi jalan raya. Saat itu, tujuan saya hanya satu. Mesjid al-Azhar Kebayoran yang tak jauh dari Atase Agama Saudi. Saya ingin menumpahkan ledakan rasa syukur yang menyesaki dada saya di sana. Sungguh-sungguh tidak pernah saya duga. Saya benar-benar menyangka bahwa nasib saya sudah mentok di LIPIA. Meski entah kenapa, waktu itu saya tetap yakin masih ada jalan untuk ke Madinah. Dan hari ini, entah kenapa, di saat Ustadz Yusran terbaring lemah di sana…entah kenapa saya jadi bertanya: apakah keberangkatan saya ke Madinah waktu itu adalah merupakan salah satu berkah perjumpaan sekilas saya dengan beliau? Mungkin.

Desember akhir, 1993, di Bandara Madinah yang dingin…
Singkat cerita, saya dan Ustadz Ridwan pun berangkat ke Madinah. Aneh memang, karena sebelumnya beliau hanya akan berangkat sendiri bersama rombongan Ustadz Yusran yang sudah tiba lebih dahulu. Tapi ternyata hari itu, saya justru menjadi satu-satunya teman beliau di pesawat, bahkan menjadi amir safar dalam perjalanan pertama ke luar negri itu (Salah satu peristiwa konyol yang kami alami saat pesawat mendarat adalah ketika saya bertanya kepada pramugari yang saya kira orang Indonesia: “Mbak, keluarnya ke mana, ya?” Tapi dia justru menjawab: “I am not Indonesian.” Tengsin dah, kata orang Betawi)

Akhirnya, kami sampai juga ke Universitas Islam Madinah, tanpa seorang pun yang menjemput di bandara. Oleh seorang teman dari Indonesia, karena saya mengaku dari Makassar, kami berdua pun dibawa –kata dia- ke kamar orang Sulawesi. Dan di situlah saya pertama kali berjumpa dengan 2 orang ustadz kita: Ustadz Jahada dan Ustadz Saiful Yusuf. Mulanya saya sempat ragu, tapi ternyata itu adalah sebuah awal yang mubarakah. Sebuah awal yang manisnya tak kunjung hilang hingga kini, dan semoga hingga akhir hayat. Satu persatu, saya pun mulai bertemu dengan Ustadz Rahmat, dan…seperti yang Anda duga dengan Ustadz kita, Muhammad Yusran.

Perjumpaan dengan “orang Sulawesi” yang dulu sempat saya pertanyakan itu, benar-benar menjadi awal kehidupan saya yang sesungguhnya. Kemanisan jalan dakwah mulai saya rajut semenjak itu. Bukan saya yang membuatnya manis, tapi merekalah, para ustadz itulah-setelah karunia dari Allah-yang menunjukkannya pada saya.

Ustadz Yusran yang Saya Kenal
Ternyata dugaan saya bahwa “sang pemuda” itu adalah seorang ahli ibadah ternyata tidak meleset. Di Madinah, saya sungguh melihat bukti kebenaran dugaan saya itu. Setiap usai shalat Subuh, sebagian besar kami-mahasiswa-biasanya terkena virus orang Saudi yang memiliki kebiasaan umum tidur pagi. Entah mengapa, setelah menuntaskan dzikir “standar” usai shalat dan menyelesaikan beberapa halaman kewajiban menghafal al-Qur’an, virus “kantuk” mulai datang menyerang. Dan satu persatu kami yang duduk di mesjid kampus pun berguguran. Sedikit sekali yang bertahan melazimi sunnah Nabi untuk berdzikir hingga mentari terbit (syuruq). Dan satu diantara mereka yang sedikit itu adalah Ustadzuna Muhammad Yusran. Hingga hari inipun, ketika kami sudah berada di Indonesia, beliau tidak pernah meninggalkan sunnah ini kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa.

Jika kami hadir di sebuah majlis dan bertepatan pada hari Senin dan Kamis, bila saat Maghrib telah tiba, Ustadz Yusran nyaris selalu mengawalinya dengan berbuka. Saya pribadi sungguh sudah terlalu sering tersenyum malu pada diri sendiri jika melewati saat-saat seperti itu. Bahkan hingga hari ini…

Kecintaannya pada ilmu pun sungguh luar biasa. Beliau sangat menguasai informasi seputar literatur-literatur turats, terutama perbandingan antara naskah-naskah yang telah diverifikasi (tahqiq) dengan baik atau tidak, apa kelebihan antara satu kitab dengan kitab yang lain dalam disiplin ilmu yang sama. Sebab itu, sebagian teman sering menjadikan beliau sebagai rujukan dalam memilih kitab mana yang harus dibeli dan dikoleksi-terutama kalo’ kantong lagi cekak-.

Menurut saya, kecintaannya pada ilmu inilah yang kemudian membuatnya begitu lahap menuai dan memanen faidah-faidah yang berserakan dalam berbagai warisan para ulama. Sehingga meskipun secara akademik sebagian dari kami memiliki nilai yang sedikit lebih baik dari beliau, namun kedalaman ilmu sungguh tak pernah dapat engkau ukur dengan setumpuk kertas bernama daftar nilai hasil ujian. Sebab ilmu itu adalah apa yang ada dalam dada (shudur), dan bukan apa yang ada dalam lembar-lembar tulisan (suthur).

Ustadz Yusran sungguh-sungguh membuktikan bahwa ilmu apapun yang engkau pelajari bukan sekedar untuk dikoleksi, tapi untuk diamalkan. Seingat saya, jumlah koleksi kitab beliau tidak sebanyak yang saya miliki, terutama setelah beliau menikah. Tapi-sekali lagi-, kedalaman ilmu tidak pernah diukur oleh deretan kitab yang menjadi koleksimu (baca: pajanganmu) di ruang tamu rumahmu. Tidak seperti itu. Dan saya rasa bukti kedalaman ilmu beliau tidak hanya saya saja yang mengakuinya.

Tanyakanlah kepada mereka yang hadir di majlis pada setiap malam Ahad di Mesjid Wihdatul Ummah yang mubarak itu…

Tanyakanlah pada mereka yang duduk bersimpuh nyaris tak bergeming di sana…dan luar biasa! Mereka tak pernah bosan untuk duduk di sana. Dari pekan ke pekan, mereka tetap setia menanti, menyimak dan mencatat setiap wejangan yang dituturkan oleh Ustadzuna Muhammad Yusran…

Meski kini, di kursi tempat Sang Ustadz itu duduk, mereka tak lagi melihat wajahnya. Hari-hari ini adalah hari-hari duka bagi majlis Riyadh al-Shalihin itu…Mereka diam terpekur berdoa semoga Allah mengembalikan Sang ‘Alim itu ke kursinya, dan mengizinkan mereka untuk kembali menyimak setiap butir ilmu yang dituturkannya…

Mungkin sebagian orang mengira Ustadz Yusran adalah orang yang selalu serius. Tapi saya membuktikan tidak demikian. Berziarah ke kamarnya adalah saat-saat yang sering saya nantikan selama saya berada di Madinah. Saya selalu menemukan gairah baru jika bertandang ke sana. Dan semua orang tahu bahwa saya adalah orang yang suka bergurau. Dan saya sungguh senang jika melihat Ustadz Yusran tersenyum-atau tertawa-karena joke-joke yang saya lontarkan. Mudah-mudahan itu termasuk Idkhal al-Surur (menelusupkan rasa gembira) ke dalam hati kaum beriman. Sesekali beliau menimpali gurauan saya, hingga kami pun tertawa bersama. Yah, ustadz juga manusia…

Hal lain yang tidak mungkin saya lupakan adalah konsistensinya pada manhaj al-Salaf, terutama dalam memberikan nasehat pada kami. Seingat saya, dalam setiap majlis-majlis tarbiyah dan musyawarah kami di Madinah-dan hingga kini di Indonesia-, beliau-lah yang selalu kami daulat untuk memberikan nasehat akhir buat kami semua. Entah mengapa, kami semua seperti mufakat dengan suara bulat untuk hal yang satu ini. Hati dan jiwa kami seperti terbuka dengan sangat lebarnya menyambut setiap kata yang disampaikan oleh Ustadz Yusran. Sampai-sampai (setidaknya menurut saya) majlis itu terasa hambar jika Sang Ustadz tak menitipkan sebuah pesan kepada kami semua. Dan semoga kesempatan itu kelak masih terus dilimpahkan kepada kami…Semoga Allah segera menyembuhkan beliau, untuk kami dan untuk umat Islam.

Dan akhirnya…

Peristiwa Ahad sore itu sungguh mengejutkan. Kecelakaan seperti itu mungkin terjadi setiap hari di dunia ini. Tapi ketika ia terjadi pada seorang Ustadz Yusran, maka persoalannya menjadi lain. Kesedihan yang lahir tidak sama dengan kesedihan pada yang lain. Banyak jiwa yang tersentak. Banyak mata yang menangis. Banyak lisan yang berdoa. Banyak bibir yang bermunajat.
Saya sendiri sangat sedih karena berada jauh dari beliau. Tapi saya yakin tidak ada yang mengalahkan kekuatan sebuah doa. Al-Du’a silah al-mu’min. Doa adalah senjata sang mukmin. Semoga Allah memberikan pilihan terbaik untuk beliau dan untuk kita semua. Semoga kesabaran yang ada tak pernah mengenal tepian dan akhir. Semoga Allah mengabulkan setiap doa dan munajat kita semua. Amin. Amin. Amin.

Cipinang Muara, 12 Desember 2006
Dari seorang murid yang tak putus berdoa
Muhammad Ihsan Zainuddin

0 komentar: